Review: Toy Story 3
It has been an honor serving with you. Good luck, folks ~ Sergeant
Belasan tahun sudah berlalu setelah
terakhir Woody dan kawan-kawan menyapa kita dengan kehangatan kasih dan
persabahatan mereka, selama itu juga saya menyimpan kenangan indah
bermain dan bercanda bersama para mainan ini. Apa yang tersisa? hmm
tentu saja rasa rindu melihat tingkah lucu mereka menghadapi segala
rintangan yang coba-coba memisahkan persahabatan mereka. “And as the years go by, our friendship will never die”
petikan lirik lagu yang dinyanyikan Randy Newman tersebut tanpa sadar
menyimpulkan apa yang saya rasakan. Persahabatan saya dengan para mainan
ini tidak akan pernah mati, karena ketika bertahun-tahun berlalu dan
bertambahnya umur, tanpa disadari potret kenangan Woody, Buzz, dan yang
lainnya tersimpan di hati. Layaknya Andy yang menumpuk mainannya di
dalam kotak mainan, itulah hati kita, disana terdapat Woody dan
kawan-kawan yang menunggu untuk kembali menghibur kita.
Andy diceritakan sudah beranjak dewasa,
bahkan akan masuk bangku kuliah. Bagaimana dengan mainan-mainan
kesayangannya, termasuk Woody sang koboi? mereka sekarang harus rela
tinggal di kotak mainan besar dan berharap Andy masih ingin bermain
seperti dulu. Namun semua itu tidak terjadi, kamar Andy sudah berubah,
Andy pun tidak lagi berteriak-teriak seru memainkan imajinasi liarnya
seperti saat masih kecil dulu. Kamar ini sekarang begitu sepi sama
seperti sepinya jumlah mainan yang tersisa. Woody, Buzz, Rex, Mr &
Mrs. Potato Head, Slinky, Hamm si celengan babi, Jessie, dan kuda
Bullseye adalah mainan yang masih “selamat”, ketika yang lain
meninggalkan kamar Andy, entah itu dibuang, disumbangkan, atau diberikan
kepada orang lain. Semua seharusnya berakhir bahagia, karena Woody akan
dibawa oleh Andy ke kampus baru, Buzz dan yang lainnya akan disimpan
diatap rumah, tempat yang memang diharapkan ketimbang harus dibuang ke
jalanan. Tapi kesalahpahaman justru membawa keluarga mainan ini ke
sebuah tempat penitipan anak bernama Sunnyside. Apakah disini mereka
akan menemukan surga penuh anak-anak yang akan memainkan mereka
selamanya dan melupakan Andy?
Betapa saya benar-benar merindukan
mainan-mainan Andy! melihat wajah-wajah polos, bodoh, manis, lucu mereka
langsung membangkitkan kenangan lama yang tersimpan di dalam kotak
bernama hati. Lee Unkrich tidak hanya akan membawa kita untuk kembali
bernostalgia bersama Woody dan kawan-kawan tetapi juga mengirimkan kita
paket pizza planet yang paling lezat. Unkrich yang sebelumnya juga
menangani film-film animasi Pixar seperti Toy Story 2, Finding Nemo, dan Monster Inc dalam
kapasitasnya sebagai asisten sutradara ini, telah menyajikan sebuah
kisah yang tidak akan pernah dilupakan. Tentu saja kematangan cerita ini
dihasilkan dari racikan orang-orang hebat. Michael Arndt (Little Miss Sunshine), bekerja sama dengan dewa-dewa dari Pixar, ada John Lasseter (Toy Story, Toy Story 2, Cars) dan Andrew Stanton (A Bug’s Life, Finding Nemo, WALL•E),
ketiga orang “sinting” yang juga sudah memenangkan Oscar ini bersatu
dengan Unkrich yang juga ikut andil dalam menggodok cerita untuk alhasil
menciptakan keajaiban bernama “Toy Story 3”.
Sulit rasanya untuk tidak tergiur oleh
santapan penuh citarasa yang dihadirkan Pixar kali ini. Jika boleh
berimajinasi, saya mengibaratkan film ini layaknya menu spesial dari
pizza planet (restoran fiktif yang terkenal di franschise Toy
Story), saya tidak akan begitu saja menyia-nyiakan setiap gigitannya.
Cerita yang terformula ajaib menjadi resep istimewa pun akhirnya dimasak
dengan begitu matang ditangan seorang Unkrich. Apa yang akan disajikan
oleh Unkrich dijamin menghinoptis penonton untuk tidak melewatkan adegan
demi adegannya, karena rasa yang begitu unik berkat campuran cerita
yang menarik dan begitu menghibur. Rasa yang sudah terkecap lezat
tersebut ditambah ramai ketika film ini juga menambah aneka rasa yang “fun” ketika mainan-mainan baru bermunculan satu-persatu dengan keunikannya masing-masing.
Lotso si beruang beraroma stroberi,
Barbie dan Ken, lalu ada Mr. Pricklepants, Trixie, Big Baby, Twitch, dan
tentu saja mainan lucu Peas-in-a-Pod, serta lusinan mainan lain
termasuk kemunculan karakter Totoro (Ghibli), akan menemani kita,
menyuguhkan aksi-aksi menghibur sesuai dengan porsi yang mereka miliki,
tidak berlebihan dan tidak juga sia-sia. Kehadiran mainan-mainan baru
ini bisa dikatakan muncul dengan pas, sampai akhirnya kita kembali
disajikan atraksi kocak Woody dan kawan-kawan. Unkrich tahu betul
menempatkan humor-humor ala Toy Story di tengah seriusnya para mainan
ini ketika harus bertarung dengan bahaya. Banyak sekali adegan-adegan
seru dengan level hiburan yang sanggup membuat penonton bersorak,
bertepuk tangan, dan juga secara bersamaan dibuat penasaran dengan apa
yang akan terjadi dengan Woody cs, seperti ketika akan menolong
teman-temannya dari truk pengangkut sampah. Unkrich pun apik dalam
usahanya menaik-turunkan emosi penonton, mengajak kita untuk masuk ke
dalam petualangan Woody, akhirnya berhasil memancing penonton untuk
terjun sama-sama, tertawa dan juga menangis bersama ketika film memulai
momen paling menyentuhnya.
Kita sudah dibawa tertawa dengan kelucuan
dua mainan paling kocak di film ini, Buzz dan Mr. Potato Head yang
tidak ada hentinya membuat saya tertawa lepas, kita juga sudah selesai
diajak naik turun seperti roller coaster dengan tingkat hiburan
super seru, keindahan animasi Pixar yang lebih ajaib dari sulap berkat
animator-animator brilian di belakang layar pun sudah memanjakan mata.
Sekarang sudah saatnya kita kembali menghabiskan gigitan terakhir pizza
istimewa ini. Sebuah kisah penutup yang akan menguji seberapa dekat
ikatan persahabatan kita dengan Woody dan kawan-kawan. Momen menyentuh,
tidak bisa diungkapkan, dan bagi saya tidak akan terlupakan ini pun
dikemas sangat istimewa oleh Lee Unkrich. Mungkin akan berlebihan jika
saya katakan mata dan hati ini mengeluarkan air mata ketika “Toy Story 3” menyudahi kisahnya dan bahkan sampai saat saya menulis review ini mata ini masih berkaca-kaca.
Setelah dibombardir oleh film-film laga, robot super-canggih, adaptasi game, remake dari tahun 80-an, “Toy Story 3”
berhasil menjadi “peneduh” ditengah panasnya persaingan film-film
blockbuster di musim panas. Secara instan film yang diramaikan oleh
suara-suara dari Tom Hanks, Tim Allen, Joan Cusack, Don Rickles, Estelle
Harris, John Ratzenberger, Wallace Shawn, Jeff Pidgeon, Jodi Benson, R.
Lee Ermey, John Morris,dan Laurie Metcalf ini berhasil menjadi yang
terbaik. Tidak perlu cerita bertele-tele yang h
anya
mengandalkan visual efek super-canggih namun pada akhirnya justru
mengecewakan. Pixar memberikan kita kisah mainan yang sederhana namun
penuh arti sekaligus punya efek tak tertandingi ketika berhasil mengetuk
hati lewat tema indah dari persahabatan, bersalaman dengannya, dan
mengikat persabahatan itu selamanya. Classic!
No comments:
Post a Comment