FRANKENWEENIE (2012) REVIEW : IT'S ALIVE! YOUR DOG IS ALIVE!
Nama besar dan
uang itu memang penting, apalagi di Hollywood. Para penggemar Tim Burton
jelas tahu bahwa ia sempat dipecat oleh Disney pada tahun 1980-an
karena masalah film pendek berjudul Frankenweenie yang ia buat. Film
tersebut dianggap sangat menakutkan bagi anak - anak dan merugikan
Disney. Seorang Tim Burton yang saat itu masih belum punya nama,
langsung “diusir” begitu saja. Nyaris dua puluh tahun kemudian, here it is,
Tim Burton telah duduk di puncak karirnya dan memberikan keuntungan
dahsyat kepada Disney lewat film Alice in Wonderland tahun 2010 lalu.
Disney pun menjilat ludahnya sendiri dan mengabulkan ‘permintaan’ Tim
Burton untuk membuat ulang Frankenweenie dalam format animasi stop
motion dan siap dirilis untuk memeriahkan bulan Halloween tahun ini.
FRANK AND WEENIE OR VICTOR AND SPARKY?
Bagi
yang tanpa sengaja sudah menyaksikan film pendek Frankenweenie yang
berdurasi 30 menit, alur cerita yang disajikan versi terbarunya ini
ternyata tidak jauh berbeda. Victor Frankenstein (disuarakan oleh
Charlie Tahan) adalah seorang anak yang tidak mempunyai kehidupan sosial
yang baik. Ia hanya senang bermain dengan satu - satunya sahabat yang
dia punya, seekor anjing jenis Burtonesque bernama Sparky
(disuarakan oleh Anjing). Akan tetapi, kisah persahabatan tersebut harus
berakhir tragis ketika Sparky meninggal secara tidak terduga.
Suatu
hari, Mr. Rzykruski (Martin Landau), guru sains di tempat Victor
bersekolah, berhasil mencuri perhatian Victor setelah beliau membuat
seekor kodok yang sudah meninggal dapat bergerak dengan aliran listrik.
Victor lantas percaya bahwa Sparky dapat hidup kembali. Sepulang
sekolah, ia langsung menggali kuburan anjingnya dan melakukan eksperimen
seperti yang dilakukan Mr. Rzykruski. Hasilnya pun sama sekali tidak
mengecewakan karena Sparky berhasil kembali dari alam baka. Sayang, hal
ini justru merupakan awal dari sebuah peristiwa yang sangat mengerikan.
TIM BURTON AT HIS BEST
Ya,
dari potongan cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa Frankenweenie
jauh dari kesan ceria dan fun, apalagi colorful, seperti kebanyakan film
animasi yang rilis di pasaran. Because it’s way too mainstream for Tim.
Dengan
melanggar berbagai hukum film animasi dan kreatifitas yang tidak ada
habisnya, Tim Burton telah berhasil menciptakan sebuah film animasi stop
motion yang tidak akan mudah pupus dari memori para penontonnya. Hal
pertama yang paling nyeleneh yang langsung tertangkap oleh mata kita
adalah tone warna dalam film ini yang menggunakan black and white.
Tidak
hanya secara estetika dianggap nyeleneh, pemilihan format black and
white dalam film animasi modern sendiri dapat dikatakan sebagai gerakan
paling berani yang pernah dilakukan oleh Disney. Pasalnya, hal ini jelas
akan membuat banyak orang, terutama casual moviegoers, mengurungkan
niatnya untuk menyaksikan film ini di bioskop.
Meski
demikian, jangan keburu membatalkan niat untuk menyaksikan
Frankenweenie, sebab warna hitam putih ini justru berhasil memperkuat
pesan, kesan, keindahan, dan semangat yang ingin disampaikan oleh Tim
Burton dalam keseluruhan filmnya itu.
Format
hitam putih telah begitu sesuai dan menyatu erat dengan alur cerita
film ini layaknya sebuah satu kesatuan, sehingga akan sulit bagi anda
yang sudah menyaksikan Frankenweenie untuk membayangkan seandainya film
ini dibuat tampil “berwarna - warni” seperti Corpse Bride atau A
Nightmare Before Christmas tanpa harus mengoyak cerita ataupun mood film
ini.
A TRIBUTE TO UNIVERSAL’S MONSTER CLASSIC
Kepiawaian
Tim Burton dalam hal meracik formula antara seram, lucu, dan
mengharukan dalam template Gothic-nya juga telah diimplementasikan
dengan amat baik dalam kisah Frankenweenie yang sebenarnya dapat
dikatakan cliche ini. Hampir semua yang disajikan film ini telah
berhasil berjalan sesuai harapan dan ekspetasi : tulus, lucu, aneh,
cerdas, cantik, mengharukan dan sarat akan pesan moral dalam waktu yang
bersamaan.
Sayang,
di beberapa bagian, terutama di bagian pertengahan film, Frankenweenie
sempat kehilangan energi-nya karena terlalu terjerumus ke dalam formula
film - film monster / hewan kebanyakan.
Selain
itu, seperti yang telah tertulis di awal, Frankenweenie tidak begitu
cocok untuk disaksikan oleh anak - anak yang berusia di bawah 6 tahun.
Selain karena tone-nya yang dark, desain karakter dalam Frankenweenie
cenderung seram. Bahkan bagi remaja hingga orang dewasa pun, alur
ceritanya dapat dikatakan cukup disturbing dengan kehadiran elemen - elemen low-level horror yang diselipkan Tim Burton dalam film ini.
Di
luar itu semua, Frankenweenie sebenarnya adalah tribute dari Tim Burton
untuk film - film horror klasik yang telah berperan begitu besar
terhadap masa kecilnya (seperti Cabin in the Woods), terutama yang
diproduksi oleh Universal tahun 1930-an seperti Frankenstein, Dracula,
The Mummy, Wolfman, kemudian Godzilla, Van Helsing, Gremlins, Bambi, A
Nightmare Before Christmas, Corpse Bride, Jurassic Park dan masih banyak
lagi. Bagi para penggemar film ataupun fans Tim Burton, hal ini jelas
memberi keasyikan sendiri dan sanggup membuat anda tersenyum sendiri di
dalam bioskop dengan beragam easter egg tersebut. Dan bisa jadi ini
adalah salah satu alasan mengapa Tim Burton mempresentasikan
Frankenweenie dalam format black-and-white.
Overall,
Frankenweenie adalah film terbaik Tim Burton dalam beberapa tahun
terakhir setelah ia berjalan terlalu jauh dari comfort zone-nya. Film
ini juga berhasil menorehkan rekor sebagai film animasi modern pertama
yang menggunakan warna hitam putih dan dirilis secara luas dalam format
3D serta IMAX 3D.
Akhir
kata, bagi yang pernah kehilangan hewan peliharaan atau orang yang anda
sayangi, jangan lupa membawa tissue sebelum menyaksikan film ini.
No comments:
Post a Comment