Tuesday, November 26, 2019

FrankenWeenie

FRANKENWEENIE (2012) REVIEW : IT'S ALIVE! YOUR DOG IS ALIVE!




Nama besar dan uang itu memang penting, apalagi di Hollywood. Para penggemar Tim Burton jelas tahu bahwa ia sempat dipecat oleh Disney pada tahun 1980-an karena masalah film pendek berjudul Frankenweenie yang ia buat. Film tersebut dianggap sangat menakutkan bagi anak - anak dan merugikan Disney. Seorang Tim Burton yang saat itu masih belum punya nama, langsung “diusir” begitu saja. Nyaris dua puluh tahun kemudian, here it is, Tim Burton telah duduk di puncak karirnya dan memberikan keuntungan dahsyat kepada Disney lewat film Alice in Wonderland tahun 2010 lalu. Disney pun menjilat ludahnya sendiri dan mengabulkan ‘permintaan’ Tim Burton untuk membuat ulang Frankenweenie dalam format animasi stop motion dan siap dirilis untuk memeriahkan bulan Halloween tahun ini. 


FRANK AND WEENIE  OR VICTOR AND SPARKY? 

Bagi yang tanpa sengaja sudah menyaksikan film pendek Frankenweenie yang berdurasi 30 menit, alur cerita yang disajikan versi terbarunya ini ternyata tidak jauh berbeda. Victor Frankenstein (disuarakan oleh Charlie Tahan) adalah seorang anak yang tidak mempunyai kehidupan sosial yang baik. Ia hanya senang bermain dengan satu - satunya sahabat yang dia punya, seekor anjing jenis Burtonesque bernama Sparky (disuarakan oleh Anjing). Akan tetapi, kisah persahabatan tersebut harus berakhir tragis ketika Sparky meninggal secara tidak terduga. 


Suatu hari, Mr. Rzykruski (Martin Landau), guru sains di tempat Victor bersekolah, berhasil mencuri perhatian Victor setelah beliau membuat seekor kodok yang sudah meninggal dapat bergerak dengan aliran listrik. Victor lantas percaya bahwa Sparky dapat hidup kembali. Sepulang sekolah, ia langsung menggali kuburan anjingnya dan melakukan eksperimen seperti yang dilakukan Mr. Rzykruski. Hasilnya pun sama sekali tidak mengecewakan karena Sparky berhasil kembali dari alam baka. Sayang, hal ini justru merupakan awal dari sebuah peristiwa yang sangat mengerikan.


TIM BURTON AT HIS BEST

Ya, dari potongan cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa Frankenweenie jauh dari kesan ceria dan fun, apalagi colorful, seperti kebanyakan film animasi yang rilis di pasaran. Because it’s way too mainstream for Tim.

Dengan melanggar berbagai hukum film animasi dan kreatifitas yang tidak ada habisnya, Tim Burton telah berhasil menciptakan sebuah film animasi stop motion yang tidak akan mudah pupus dari memori para penontonnya. Hal pertama yang paling nyeleneh yang langsung tertangkap oleh mata kita adalah tone warna dalam film ini yang menggunakan black and white. 

Tidak hanya secara estetika dianggap nyeleneh, pemilihan format black and white dalam film animasi modern sendiri dapat dikatakan sebagai gerakan paling berani yang pernah dilakukan oleh Disney. Pasalnya, hal ini jelas akan membuat banyak orang, terutama casual moviegoers, mengurungkan niatnya untuk menyaksikan film ini di bioskop. 


Meski demikian, jangan keburu membatalkan niat untuk menyaksikan Frankenweenie, sebab warna hitam putih ini justru berhasil memperkuat pesan, kesan, keindahan, dan semangat yang ingin disampaikan oleh Tim Burton dalam keseluruhan filmnya itu. 

Format hitam putih telah begitu sesuai dan menyatu erat dengan alur cerita film ini layaknya sebuah satu kesatuan, sehingga akan sulit bagi anda yang sudah menyaksikan Frankenweenie untuk membayangkan seandainya film ini dibuat tampil “berwarna - warni” seperti Corpse Bride atau A Nightmare Before Christmas tanpa harus mengoyak cerita ataupun mood film ini. 


A TRIBUTE TO UNIVERSAL’S MONSTER CLASSIC

Kepiawaian Tim Burton dalam hal meracik formula antara seram, lucu, dan mengharukan dalam template Gothic-nya juga telah diimplementasikan dengan amat baik dalam kisah Frankenweenie yang sebenarnya dapat dikatakan cliche ini. Hampir semua yang disajikan film ini telah berhasil berjalan sesuai harapan dan ekspetasi : tulus, lucu, aneh, cerdas, cantik, mengharukan dan sarat akan pesan moral dalam waktu yang bersamaan. 

Sayang, di beberapa bagian, terutama di bagian pertengahan film, Frankenweenie sempat kehilangan energi-nya karena terlalu terjerumus ke dalam formula film - film monster / hewan kebanyakan. 

Selain itu, seperti yang telah tertulis di awal, Frankenweenie tidak begitu cocok untuk disaksikan oleh anak - anak yang berusia di bawah 6 tahun. Selain karena tone-nya yang dark, desain karakter dalam Frankenweenie cenderung seram. Bahkan bagi remaja hingga orang dewasa pun, alur ceritanya dapat dikatakan cukup disturbing dengan kehadiran elemen - elemen low-level horror yang diselipkan Tim Burton dalam film ini.


Di luar itu semua, Frankenweenie sebenarnya adalah tribute dari Tim Burton untuk film - film horror klasik yang telah berperan begitu besar terhadap masa kecilnya (seperti Cabin in the Woods), terutama yang diproduksi oleh Universal tahun 1930-an seperti Frankenstein, Dracula, The Mummy, Wolfman, kemudian Godzilla, Van Helsing, Gremlins, Bambi, A Nightmare Before Christmas, Corpse Bride, Jurassic Park dan masih banyak lagi. Bagi para penggemar film ataupun fans Tim Burton, hal ini jelas memberi keasyikan sendiri dan sanggup membuat anda tersenyum sendiri di dalam bioskop dengan beragam easter egg tersebut. Dan bisa jadi ini adalah salah satu alasan mengapa Tim Burton mempresentasikan Frankenweenie dalam format black-and-white.


Overall, Frankenweenie adalah film terbaik Tim Burton dalam beberapa tahun terakhir setelah ia berjalan terlalu jauh dari comfort zone-nya. Film ini juga berhasil menorehkan rekor sebagai film animasi modern pertama yang menggunakan warna hitam putih dan dirilis secara luas dalam format 3D serta IMAX 3D. 

Akhir kata, bagi yang pernah kehilangan hewan peliharaan atau orang yang anda sayangi, jangan lupa membawa tissue sebelum menyaksikan film ini.

No comments:

Post a Comment