Review: The Girl in the Spider’s Web (2018)
Pernah
membayangkan jika petualangan Lisbeth Salander hadir tanpa pengarahan
David Fincher? Atau karakternya diperankan oleh aktris lain selain
Rooney Mara? Atau perjalanan ceritanya tidak didampingi oleh iringan
musik garapan Trent Reznor dan Atticus Ross? Well… tentu saja, tiga novel pertama seri Millennium buatan Stieg Larsson, The Girl with the Dragon Tattoo, The Girl who Played with Fire, dan The Girl who Kicked the Hornets’ Nest, telah difilmkan sebelum Fincher merilis The Girl with the Dragon Tattoo versinya pada tahun 2011 dengan Noomi Rapace berperan sebagai sang gadis bertato naga. The Girl in the Spider’s Web arahan Fede Álvarez (Evil Dead,
2013) sendiri jelas berada pada tingkatan dan atmosfer pengisahan yang
berbeda jika dibandingkan dengan film arahan Fincher maupun tiga film
adaptasi seri Millennium pertama yang dibintangi Rapace. Mirip
dengan film-film pendahulunya, Álvarez masih mempertahankan atmosfer
kelam dan dingin pada penceritaan The Girl in the Spider’s Web. Namun, daripada menghadirkan pengisahan dan karakterisasi yang cenderung kompleks, Álvarez membungkus The Girl in the Spider’s Web menjadi sebuah sajian crime thriller yang cukup apik. And that’s not a bad thing, really.
Dengan naskah cerita yang ditulis Álvarez bersama dengan Jay Basu (Monsters: Dark Continent, 2014) dan Steven Knight (Allied, 2016), The Girl in the Spider’s Web memulai perjalanannya ketika peretas Lisbeth Salander (Claire Foy) menerima tugas dari seorang mantan pegawai National Security Agency, Frans Balder (Stephen Merchant),
yang meminta dirinya untuk meretas sistem komputer milik National
Security Agency guna mencuri sebuah program komputer bernama Firefall
yang dahulu ia buat dan dapat digunakan untuk mengakses kode pengaktif
senjata nuklir yang berada di berbagai belahan dunia. Sebagai seorang
peretas handal, tugas tersebut tentu saja dapat dijalankan dengan mudah
oleh Lisbeth Salander. Namun, di saat yang bersamaan , keterlibatan
Lisbeth Salander kemudian membuatnya menjadi kejaran dua belah pihak:
National Security Agency yang mengirimkan agennya, Edwin Needham (LaKeith Stanfield), untuk memburu Lisbeth Salander serta seorang pembunuh bayaran yang dikenal dengan nama Jan Holtser (Claes Bang) yang ternyata merupakan bagian dari sindikat penjahat berbahaya dan turut mengincar Firefall.
Memang, secara teknis, novel The Girl in the Spider’s Web bukanlah sebuah kisah lanjutan dari seri novel Millennium yang ditulis langsung oleh Larsson. Novel The Girl in the Spider’s Web – dan sebuah novel lain berjudul The Girl who Takes an Eye for an Eye – ditulis oleh penulis David Lagercrantz
berdasarkan karakter-karakter yang telah diciptakan oleh Larsson yang
telah meninggal dunia. Seperti halnya sebuah resep makanan popular yang
dihasilkan oleh seorang juru masak namun kini diolah dan dikembangkan
oleh seorang juru masak lain, tuturan cerita The Girl in the Spider’s Web
memang terasa sedikit berbeda. Daripada berusaha tampil dalam untuk
menggali motif konflik maupun karakter atau menyelipkan beberapa
sentuhan sosial maupun politis dalam penceritaannya, The Girl in the Spider’s Web terasa lebih tertarik untuk mengembangkan linimasa penceritaannya sebagai sebuah crime thriller.
Bukan sebuah masalah besar, tentu saja. Apalagi Lagercrantz masih mampu
menggarap konflik kejahatan dengan barisan intrik yang cukup kuat dan
menarik.
Dengan struktur cerita asal yang tidak lagi “terlalu rumit” tersebut, tidak mengherankan jika kemudian versi film dari The Girl in the Spider’s Web
juga hadir dengan nada pengisahan yang serupa. Álvarez memang masih
mempertahankan warna cerita yang berkesan dingin dan cenderung kelam
yang telah dibawakan oleh film-film hasil adaptasi seri novel Millennium sebelumnya. Álvarez bahkan mempertahankan adegan opening credit layaknya sebuah film James Bond seperti yang dahulu telah dilakukan Fincher lewat The Girl with the Dragon Tattoo.
Tetapi, tidak dapat disangkal, dengan struktur pengisahan yang cukup
sederhana, sulit untuk memberikan kredit lebih bagi pengarahan Álvarez. The Girl in the Spider’s Web
dihadirkan dengan tatanan teknis dan produksi yang maksimal namun
Álvarez seringkali mengeksekusi ceritanya dalam ritme kisah yang cukup
lamban. Hasilnya, banyak sudut cerita dari film ini yang gagal untuk
tampil lebih istimewa, mengikat, serta cenderung akan dapat dengan mudah
dilupakan oleh para penontonnya.
Elemen lain – dan sesungguhnya sangat krusial – yang membuat presentasi The Girl in the Spider’s Web
tidak mampu untuk meninggalkan kesan yang lebih mendalam adalah
pemilihan para pengisi departemen aktingnya. Jangan salah, Foy adalah
aktris yang memiliki kemampuan akting yang handal – dan Foy cukup mampu
menghidupkan karakter Lisbeth Salander yang ia perankan dengan baik.
Namun, seperti yang dapat disaksikan dari penampilan Rapace maupun Mara,
karakter Lisbeth Salander memiliki sebuah kharisma penampilan yang
mentah, kasar, atau jauh dari kesan terlatih. Foy, terlepas dari
kelugasan penampilannya, seringkali terasa menghadirkan sosok Lisbeth
Salander sebagai sosok perempuan yang terlatih dan penuh polesan pada
setiap gerakannya. Mungkin Foy mencoba memberikan interpretasi yang
berbeda pada sosok Lisbeth Salander tetapi, sayangnya, kurang begitu
berhasil untuk menciptakan sosok Lisbeth Salander yang benar-benar mampu
tampil memikat dan mengikat.
Hal yang sama juga dapat dirasakan pada penampilan aktor Sverrir Gudnason yang
berperan sebagai karakter Mikael Blomkvist. Sosok jurnalis yang
memiliki sejarah hubungan di masa lalu dengan karakter Lisbeth Salander
tersebut kini disajikan dengan dukungan latar pengisahan yang jauh dari
kesan matang. Kehadiran karakternya sama sekali tidak memiliki arti yang
banyak pada struktur pengisahan The Girl in the Spider’s Web secara keseluruhan. Parahnya, Foy dan Gudnason memiliki jalinan chemistry
yang hampir dapat dikatakan sangat hampa antara satu sama lain. Dua
karakter yang seharusnya memiliki daya tarik seksual yang kuat antara
satu sama lain kini tampil begitu datar. Selain Foy dan Gudnason,
departemen akting film ini sebenarnya diberkahi dengan
penampilan-penampilan akting yang mumpuni. Merchant, Stanfield, Bang,
hingga Sylvia Hoeks dan Vicky Krieps yang mencuri perhatian setidaknya menghasilkan banyak momen akting yang cukup menyenangkan.
Jelas tidak ada salahnya untuk memberikan
interpretasi yang baru akan sebuah karya yang telah lebih dahulu
dikenal oleh khalayak ramai. Álvarez cukup mampu mengolah pengisahan The Girl in the Spider’s Web untuk menjadikannya sebuah presentasi crime thriller
yang efektif. Di saat yang bersamaan, untuk sebuah karya yang
mengagungkan sosok karakter perempuan yang kuat, tangguh, dan tampil
beda dengan kebanyakan karakter sejenis lainnya, film ini sayangnya
tampil dengan pengisahan yang terlalu rapi dan jauh dari kesan tegas.
Masih dapat dinikmati namun jelas tidak akan meninggalkan terlalu banyak
pengaruh pada mereka yang menyaksikannya. [C]
The Girl in the Spider’s Web (2018)
Directed by Fede Álvarez Produced by Scott Rudin, Eli Bush, Ole Søndberg, Søren Stærmose, Amy Pascal, Elizabeth Cantillon Written by Jay Basu, Fede Álvarez, Steven Knight (screenplay), David Lagercrantz (novel, The Girl in the Spider’s Web), Stieg Larsson (characters) Starring Claire
Foy, Sverrir Gudnason, LaKeith Stanfield, Sylvia Hoeks, Stephen
Merchant, Vicky Krieps, Claes Bang, Christopher Convery, Synnøve Macody
Lund, Cameron Britton, Andreja Pejić, Mikael Persbrandt, Volker Bruch,
Beau Gadsdonas, Carlotta von Falkenhayn Music by Roque Baños Cinematography Pedro Luque Edited by Tatiana S. Riegel Production companies
Columbia Pictures/Metro-Goldwyn-Mayer/Regency Enterprises/Scott Rudin
Productions/Yellow Bird/The Cantillon Company/Pascal Pictures Running time 115 minutes Country Canada, Germany, United States, Sweden, United Kingdom Language English
No comments:
Post a Comment