Wednesday, December 11, 2019

Seven Pounds

REVIEW: SEVEN POUNDS



















"In seven days, God created the world and in seven second, I shattered mine"

Seven Pounds mengisahkan tentang seorang insinyur pesawat ruang angkasa bernama Tim Thomas (Will Smith) yang memiliki kehidupan sempurna, mempunyai istri yang cantik dan sangat dicintainya, juga tinggal di sebuah rumah yang sangat indah di tepi pantai. Namun suatu ketika, karena menggunakan telepon seluler saat sedang berkendara, Tim dan sang istri mengalami kecelakaan hebat. Kecelakaan tersebut mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, termasuk istri Tim. Setelah kecelakaan itu Tim merasa sangat bersalah dan terbebani dalam hidupnya. Oleh karena itu ia merencanakan untuk mendonorkan organ" tubuhnya kepada 7 orang yang benar" membutuhkan, dengan tujuan agar mereka mendapatkan kehidupan baru. Tim pun mencuri identitas saudaranya, Ben Thomas, yang bekerja sebagai agen IRS (pajak). Dari data" di IRS akhirnya Tim berhasil menemukan calon" yang akan menerima donornya tersebut. Rencana ini berjalan tidak semulus yang ia kira, karena ditengah niatnya tersebut Tim malah jatuh cinta pada salah satu calon donornya yang bernama Emily Posa (Rosario Dawson), seorang wanita penderita gagal jantung akut. Seketika Tim berada dalam situasi yang sangat dilema. Alur cerita Seven Pounds termasuk sangat lambat, sedikit membingungkan di awal cerita. Namun menjelang pertengahan hingga akhir cerita barulah kita dapat memahami jalan cerita yang sebenarnya dan ikut terhanyut dalam haru. Melihat Will disini seperti kembali melihat penampilannya dalam The Pursuit of Happyness (2006), kurus, lemas, kumal. Sutradara dan kru Seven Pounds pun ternyata adalah orang" yang andil dalam The Pursuit of Happyness juga. Seven Pounds termasuk salah satu dari sekian banyak film yang memiliki ending yang kuat.

Vantage Point

Review film “vantage point”

Untuk memperoleh nilai tugas sinematografi materi apresiasi film,saya akan mereview film Vantage point. Film ini sudah ditonton oleh saya dan teman-teman sekitar 2 minggu yang lalu. Sebelum mengambil kesimpulan review dari saya telebih dahulu kita melihat simple reviewnya:
Nama film, tahun rilis : Vantage point,2008
Genre  : action
Sutradara  : Pete Travis
Produser  : Tania Landau,Ricardo Del Río
Penulis  : Barry Levy
Penyunting  : Stuart Baird,Sigvaldi J. Kárason,Valdís Óskarsdóttir
Distributor  : Sony Pictures
Vantage point berceritakan tentang seorang pesiden Amerika serikat yang berkunjung ke eropa untuk membentuk terobosan baru dalam perang terror yang sedang berlangsung. Cerita ini diambil oleh beberapa sudut pandangan orang dengan teknik flashback. Jadi setelah pengelihaan satu orang selesai kembali ke awal dengan sudut pandang orang yang berbeda.
Cerita pertama diambil sudut pandang Rex, seorang sutradara berita yang sedang menyiarkan secara live presiden ashton yang sedang berkunjung ke Eropa. Ketika sedang mengeshoot sang presiden naik keatas panggung,si presiden ditembak. Semua orang disitu panic dan berlarian kesana sini sedangkan pembawa acara,angie kaget dan tidak bisa berkata apa-apa.  Ditengah-tengahkepanikan itu bom yang tidak diketahui oleh sapapun dan terletak di bawah podium meledak . Rex kaget saat melihat Angie tidak bergerak.
Cerita kedua diambil sudut padang Thomas,dia seorang bodyguard yang melindungi presiden. Dia sangat berjaga-jaga agar presiden tidak diserang seperti tahun lalu. Tetapi ketika presiden menaiki podium,dia tertembak. Thomas langsung menyergap orang yang mencurigakan dan melihat video yang direkam oleh seorang amatiran. Dia melihatada bom yang dimasukan ke podium dan berteriak. Bom pun meledak dia segera berlari ke stasiun TV dekat situ untuk melihat rekaman dan menemukan sesuatu yang mengkagetkan .
Cerita ketiga diambil sudut pandang Erik,dia seorang polisi yang diperalat oleh  seorang wanita untuk membawakan bom. Setelah melihat presiden ditembak,ia berusaha memberitahu bahwa pelakunya juga melemparkan bom kebawah podium tetapi justru ditangkap kaena mencurigakan. Saat bom meledak dia kabur dan dikejar oleh polisi. Sampai disuatu tempat polisi kehilangan jejak Erik dan Erik ditempat itu dia bertemu seseorang.
Cerita keempat diambil sudut pandang Howard,seorang warga Amerika yang berlibur ke Eropa seorang diri. Dia dating dengan membawa kamera . Ketika presiden ditembak dia melihat pelakunya dibalik jendela dan merekamnya. Dia juga merekam orang yang memasukan bom. Setelah bom meledak,dia panic dan akhirnya ia mengikuti pengejaran polisi terhadap Erik dan merekamnya. Disuatu tempat Erik berhenti  ia melihat seorang anak perempuan yang ia tolong hampir ketabrak ia berlari untuk menolongnya.
Cerita kelima diambil sudut pandang presiden Ashton,ternyata dia bukanlah yang ditembak di podium. Yang ditembak di podium aalah seorang yang mirip dengan dirinya. Saat beriskusi tentang dirinya yang ditembak ada seseorang yang masuk dan menembak semua orang yang ada disitu dan menodong pistolnnya ke presiden.
Cerita kelima diambil sudut pandang orang-orang yang jahat ,yang ingin menembak presiden,cewek yang melempar bom,polisi yang berkhianat,sam yang mengatur semuanya.
Diakhir cerita ,kelima sudut pandang digabung dan diselesaikan ceritanya.
Menurut saya,semua akhir dari cerita beberapa sudut pandang itu membuat penasaran karena tidak terselesaikan.  Seperti saat Thomas melihat sesuatu di rekaman video,anak perempuan yang hampir tertabrak,Erik yang bericara pada seseorang,dan presiden yang mau tertembak. Bikin penasaran bukan? Tetapi diakhir cerita, semua penasaran itu terselesaikan dan ternyata semua cerita terhubung satu sama lainnya dan disitulah kerennya dari carita ini. Saya sengaja tidak menceritakan akhir dari cerita ini agar membuat semua pembaca penasaran untuk menonton film ini. Diakhir cerita merupakan klimaks action dari film ini. Ada tembak-tembakan,pengejaran mobil sampe mobilnya terjungkir balik dan lainnya. Sangat seru bukan? Bagi pecinta film action jangan melewatkan film ini.
Jika bercerita tentang pemain film ini sebenarnya semua pemain utama di film ini sudah berumur semua. Menurut saya,peran Thomas sangatlah berlebihan sebagai seorang bodyguard kenapa dia saja yang terlihat sibuk sekali  saat presiden menaiki podium dia melihat semua yang didekat presiden adalah musuh. Pemeran Howard  berakting sangat lebay/berlebihan dia berakting seakan dia sudah mau mati disitu atau kiamat tuh sudah mau terjadi. Dari semua pemain saya paling suka dengan para emain jahatnya sepeti Sam dan orang yang diperalat dengan menyandra adiknya (tidak tahu namanya. Keke). Terlihat sangat natural beraktingnya. Yang kerennya mereka juga berakting didalam film itu yaitu berpura-pura sebagai orang baik/tak bersalah. Keren bukan berakting jahat yang berakting baik?
Setiap shot dan scene dari dilm ini memang membuat orang terkesan dan berdebar-debar. Saya sangat memuji saat adegan kejar-kejaran karena disitu ada mobil ditabrak,mobil jungkir balik,tembak-tebakan dan lain-lain. Dalam scene pengejaran ini sutradara mengambil adegan dengan top shot jadi terlihat penjahatnya dan polisinya yang sedang berkejaran. Audio dari film ini juga sangat berpengaruh karena audio inilah yang membuat para penonton merasakan berdebar-debar,kaget,dan berteriak. Saya juga suka adegan terakhir dimana sumua adegan terhubungkan. Dalam adegan itu sutradara menge-slowdownkan scene dan mengambil long shot dari atas (top shot) lalu ke pemain-pemain yag ada disitu dari yeng jahat sedang bertengkar,ke Howards yang sedang menolong anak kecil,ibunya anak kecil yang kaget.  Editing dari film ini kurang saya suka karena filmnya jadi kelihatan tidak real. Contohnya saat bom meledak di podium asapnya terlihat buatan sekali dan helicopter di scene terakhir terlihat sekali buatan komputernya.
Bila ditanya apakah film ini dibuat berkali-kali atau satu kali dengan banyak kamera,saya akan menjawab dibuat berkali-kali. Kenapa ?  karena saya melihat ada perbedaan saat kejar-kejaran antara Erik dan polisi dalam sudut pandang Erik dengan sudut pandang Howards. Selain itu saya melihat perbedaan scene setelah bom meledak.
Kesimpulan dari film ini adalah tentang teroris yang  menginginkan perubahan tetapi tidak disetujukan oleh presiden sehingga melakukan pemberontakanan untuk menyakiti presiden. Disaat yang sama sang presiden sedang melakukan pertemuan untuk menuntaskan teroris. Adapun pesan moral dari film ini,sekeras apapun teroris dengan kejahatannya dan pengorbanannya untuk mati saat melaksanakan kejahatannya,tetap saja kebaikan,keberanian,dan kesetiaan dari seorang pelindunglah (polisi) yang menang.

Gridiron Gang

Sinopsis Lengkap Film Gridiron Gang (2006)

Gridiron Gang (2006)

Rilis
15 September 2006
Negara
Amerika Serikat
Bahasa
Inggris
Sutradara
Phil Joanou
Produser
Lee Stanley, Neal H. Moritz
Pemeran
Dwayne Johnson, Kevin Dunn, Xzibit, Leon Rippy
Sinematografi
Jeff Cutter
Music
Trevor Rabin
Distributor
Columbia Pictures.

Plot Gridiron Gang

Sean Porter (Dwayne Johnson) bekerja di Kilpatrick Detention Center. Porter frustrasi sebab tidak mampu membantu anak-anak menjauh dari masalah mereka dalam hidup saat mereka dibebaskan dari masa lalu kelam mereka yaitu  perdagangan narkoba dan geng jalanan. Dia memutuskan membuat tim Football.


Porter percaya Football akan mengajarkan para narapidana remaja apa yang diperlukan menjadi pemenang yang disiplin dan bertanggung jawab serta membentuk karekter mereka. Dia memilih beberapa anak di ruangan dan dia menyatakan ke tim barunya The Mustang Kilpatrick. Dua remaja tidak akur sebab mereka berasal dari geng yang saingan Willie Weathers dan Kelvin Owens.

Di pertandingan pertama melawan Barrington. Mereka mulai tertinggal, The Mustang mulai memenangkan permainan mereka mulai bekerja sama. Willie dan Kelvin berjabat tangan apda saat mereka memenangkan pertandingan dengan satu touchdown usai Kelvin membuat block besar untuk Willie. Menjelang akhir musimg, The Mustan ke babak playoff.

Mereka mendapati banyak publisitas dan bahkan lebih banyak penggemar. Salah satu dari geng 88 teman Willie, Free berhenti dekat lapangan. Dia menyadari Kelvin geng 95. Free dan Kelvin bertengkar, Free menembak Kevin di bahu. Free bersisap menembakkan juga ke kepala Kelvin, Willie berlari menuju arah Free menjatuhkan ke tanah menyelamatkan Kelvin.

Free terkejut ketika Willie membantu Kelvin bukan dirinya. Polisi datang sementara Free kabur. Dia menembaki petugas menanggapi atass penembakan yang mengakibatkan membunuhnya. Kelvin selamat namun tidak bisa bermain di final. Tim hampir dipaksa kehilangan permainan playoff sebab kekhawatiran mengenai kekerasan geng, namun bos Porter melangkah mencegahnya mengatur relawan dari departemen kepolisian tetangga untuk berpatroli di permainan.

Dalam pertandingan ulang melawann Barrington, Mustak tertinggal 14-0, Willie memberikan motivasi, dan mereka keluar untuk dapat mengalahkan Barrington di permainan terakhir. Terungkap mereka kehilangan pertandingan 17-14. Kemudian beberapa bulan berikutnya, metode Football Sean resmi dijadikan bagian dari program. Hampir semua mantan anggota The Mustang baik-baik saja dalam kehidupan baru mereka ketika mereka sudah keluar dari pusat penahanan.

Willie bermain Football di sekolah asrama teratas, Kelvin bermain Football untuk SMA Washington, Kenny Bates menuju sekolah dan tinggal bersama ibunya, Junior Palaita mendapati pekerjaan di perusahaan mebel, Leon Hayes bermain Football untuk Dorsey High, Donald Madlock dan Miguel Perez menuju ke geng lama mereka dan kini di penjara otoritas pemuda. Bug Wendal teas dalam penembakan. Hanya 5 pemain yang kembali menuju penjara. Film berakhir dimana kelompok baru pelatihan The Mustang untuk musim baru mereka.

Resident Evil: Afterlife

Resident Evil: Afterlife

Umbrella Corporation menjadi satu-satunya perusahaan yang bertanggung jawab penuh terhadap kehancuran dunia. Oleh karena penyebaran virus T, seluruh umat manusia berubah menjadi zombie, menyebabkan berhentinya peradaban manusia.
Di film ini, Alice (Milla Jovovic) kembali menyerbu Umbrella Corporation yang bersembunyi di bawah tanah. Bersama kloningannya, Alice berusaha menghancurkan perusahaan tersebut beserta dalangnya, Albert Wesker (Shawn Roberts). Namun, Wesker berhasil melarikan diri dan meledakkan markas Umbrella. Seluruh kloningan Alice terjebak di dalamnya, namun Alice berhasil menyelinap ke dalam pesawat yang sama dengan Wesker. Mereka terlibat perkelahian lalu Wesker menyuntikkan virus kepada Alice. Itu yang membuat Alice kembali menjadi manusia normal.
Enam bulan kemudian, Alice yang selamat dari perkelahian dengan Wesker melakukan pencarian manusia yang tersisa di sebuah daerah yang disebut Arcadia, Alaska, sebuah tempat yang dijanjikan sebagai tempat yang bebas dari virus. Namun, ia tidak menemukan siapa pun di tempat itu, kecuali teman lamanya, Claire Redfield (Ali Larter), yang mengalami amnesia. Bersama Claire, ia menuju Los Angeles untuk kembali mencari manusia yang masih tersisa.
Di Los Angeles, Alice dan Claire bertemu dengan beberapa manusia yang masih bertahan di sebuah gedung penjara, salah satunya adalah kakak Claire, Chris Redfield (Wentworth Miller). Mereka pun mengetahui bahwa Arcadia bukanlah sebuah pulau. Selain itu, mereka harus berusaha keluar dari gedung yang dikepung ribuan zombie. Apakah Alice berhasil membawa manusia yang tersisa keluar dari tempat itu dan memberikan mereka tempat yang benar-benar bebas dari virus? Apakah kali ini Alice bisa menghancurkan Umbrella Corporation?

Aksi dan Tampilan 3D yang Prima

Semua sekuel Resident Evil mengalami kesuksesan di bidang pendapatan. Ini dikarenakan penyuguhan aksi yang cukup prima. Bagaimana dari segi cerita? Bisa dikatakan biasa saja. Itulah yang terjadi di Resident Evil: Afterlife. Kelebihan film ini adalah efek 3D yang bekerja cukup prima di beberapa adegan yang menyajikan aksi. Efek 3D ini pun semakin terasa dengan penggunaan time freeze. Film ini juga mengalami pergeseran genre, dari film horor menjadi action. Kali ini, film ini menyajikan lebih banyak aksi daripada sound effect yang mengagetkan dan adegan yang membuat jantung berdebar.
Dilihat dari segi cerita, jika dibandingkan dengan film-film sebelumnya, Resident Evil Afterlife memiliki plot yang lebih gelap dan suram. Bahkan, ada beberapa adegan yang agak membingungkan karena tidak ada penjelasan mendalam mengenai adegan tersebut. Jika Anda tidak memainkan game-nya, Anda akan mengalami kebingungan dan bertanya-tanya sepanjang film. Penasaran dengan adegan-adegan tersebut? Saya tidak akan memberikan spoiler di sini. Silahkan tonton film ini dan berikanlah penilaian pribadi Anda!
Secara keseluruhan, film ini memiliki kelebihan dari segi aksi (walau tidak banyak seperti sekuel sebelumnya) dan efek 3D yang cukup memuaskan. Penyertaan 3D di film ini memberikan penonton sebuah pengalaman baru yang tidak mereka dapatkan di sekuel sebelumnya.

Tanggal rilis:

21 September 2010
Genre:

Action, thriller
Durasi:
97 menit
Sutradara:
Paul W.S. Anderson
Pemain :
Milla Jovovich, Ali Larter, Wentworth Miller, Shawn Roberts, Spencer Locke
Studio:
Constantin Film

The Covenant

Sinopsis Lengkap Film The Covenant (2006)

The Covenant (2006)

Rilis
8 September 2006
Negara
Amerika Serikat
Bahasa
Inggris
Sutradara
Renny Harlin
Produser
Tom Rosenburg, Gary Lucchesi
Pemeran
Steven Strait, Taylor Kitsch, Sebastian Stan, Toby Hemingway, Laura Ramsey, Jessica Lucas, Wendy Crewson, Chace Crawford
Sinematografi
Pierre Gill
Music
Tomandandy
Distributor
Screen Gems

Plot The Covenant 


Caleb, Reid, Pogue dan Tyler dikenal Sons of Ipswich keturunan keluarga penyihir kolonial memiliki kemampuan sihir yang pertama kali bermanifestasi di ulang tahun ke 13 dan tumbuh kuat hingga mereka di usia 18. Kekuasaan terkait dengan kehidupan mereka semakin banyak digunakan, semakin cepat usia mereka. Caleb bertemu Sarah siswa pindahan sekolah menengah di Boston. Anak-anak juga bertemu Chase Collins siswa baru di Spencer Academy.


Usai seorang siswa ditemukan mati secara misterius dekat kampus mereka, Caleb mencurigai Reid yang paling ceroboh dari para penyihir namun dia menyangkal penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Pogue melihat Darkling yaitu roh mati dan pertanda jahat. Sementara Caleb dan Sarah berhubungan semakin dekat. Selama lomba renang, Caleb memperhatikan Chase yang berteman dengan kelompok tersebut menampilkan penggunaan sihir.

Usai meneliti, Caleb menyimpulkan Chase berasal dari keluarga kelima yang diyakini telah lama punah, bahwa dia putra Goodwin 'Goody' Pope. Pogue mengetahui kekasihnya dianggap koma oleh mantra. Marah dia tergesa-gesa menantang Chase yang dengan cepat membawanya ke rumah sakit. Caleb mengunjungi Sarah hnaya jatuh dalam perangkap Chase. Chase mengungkapkan dia tidak mengetahui asal mula sihirnya, usai diadopsi. Setelah dia mendapati ayah kandungnya, dia mengetahui harga untuk Ascension namun sudah terlambat dan dia telah kecanduan menggunakan sihir.

Ayah biologisnya selanjutnya mentransfer kekuasaan terhadapya. Chase ingin memaksa penyihir Ascender lain mentransfer kekuasaan terhadapnya juga, dimulai dengan Caleb. Chase mengancam akan menyakiti keluarga dan teman-teman Caleb jika dia tidak mendapati apa yang diinginkannya. Caleb mengungkapkan kebenaran terhadap Sarah membawanya ke ayahnya, pria berusia 44 tahun dengan tubuh tua, kelelahan sebab penyalahgunaan sihir.

Sarah menyarankan salah satu dari 3 lainnya mentransfer kekuatan mereka ke Caleb sehingga dia bisa menyamai Chase, Caleb menolak menjelaskan hal itu akan membuat mereka kehilangan seluruh hidup mereka. Di ulang tahun Caleb yang ke 18, dia menemui Chase sendirian meminta Tyler dan Reid melindungi Sarah.

Chase dengan mudah menculik Sarah. Di gedung tua, Chase dan Caleb bertarung semenetara di rumah Evelyn ibu Caleb, memohon suaminya menyelamatkan Caleb. Dia mengorbankan dirinya sendiri mentransfer kekuatannya dari jarak jauh untuk putranya. Usai kekuatan ayahnya dimasukkan, Caleb memukul Chase yang menelannya dalam bola api. Sarah, Pogue, dan Kate terbangun terbebas dari kutukan mereka.

Beautiful Creatures

[Review] Beautiful Creatures (2013)

Ya ya ya, sudah seringkali kita lihat pengganti saga Twilight menghiasi layar lebar belakangan ini. Entah, sebagian besar gagal di box office dan kurang mendapat perhatian baik dari kalangan kritikus maupun penontonnya. Kali ini Hollywood mencoba untuk menggantungkan nasibnya pada Beautiful Creatures yang menawarkan premis tidak jauh berbeda tentang dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Sudah barang tentu mereka berada di dunia berbeda. Manusia dan ya, di film ini mereka menyebutnya Caster, semacam penyihir yang mempunyai kekuatan sangat besar. Beautiful Creatures juga diadaptasi dari novel berjudul sama yang juga merupakan bagian pertama dari seri novel Caster Chronicles karya duo penulis asal Amerika Serikat, Kami Garcia dan Margareth Stohl. Saya memposisikan diri sebagai penonton yang netral kala menikmati film ini. Toh saya juga tidak begitu ngefans sekali dengan saga Twilight, jadi jikapun Beautiful Creatures dikatakan ikut-ikutan, tak ada alasan saya bagi saya untuk membenci filmnya. Hanya saja, mari kita lihat bagaimana eksekusinya.

Seorang manusia bernama Ethan Wate (Alden Ehrenreich) yang sekian lama telah bermimpi untuk bisa keluar dari kota tempat tinggalnya, Gatlin, Amerika Serikat yang dianggapnya begitu membosankan. Dia juga memimpikan sosok gadis misterius. Suatu hari, ketika di sekolahnya kedatangan murid baru, Lena Duchannes (Alice Englert) keponakan dari Macon Ravenwood (Jeremy Iron) yang konon menurut warga Gatlin adalah keluarga penyembah setan. Tentu saja rumor tersebut menyebabkan Lena sulit diterima oleh teman-temannya. Bahkan ketika Lena diejek, tanpa sengaja kaca-kaca di kelasnya pecah berantakan. Hal tersebut menyebabkan tanda tanya besar. Ethan yang merasa iba kemudian mulai menghibur Lena. Dan apa yang terjadi selanjutnya adalah kisah klise para remaja yang jatuh cinta. Ethan juga semakin menyadari ternyata gadis misterius yang selama ini ada di mimpinya adalah Lena. Hanya saja, Ethan tak menyadari bahwa Lena mempunyai segudang misteri dalam dirinya
Beautiful Creatures merupakan film yang mudah untuk dilupakan karena tidak ada satupun yang terlihat mengesankan. Lihat saja, narasi yang kelihatan dangkal tanpa ada penguatan karakter setiap tokoh membuat film ini berjalan terasa datar. Apa yang terjadi adalah separuh film ini berjalan tanpa konflik yang kuat. Pertama, penonton diantar untuk perkenalan masing-masing tokoh kemudian mulai berkembang ke latar belakang Lena dan selanjutnya akan bergumam, "Udah? Gitu doang?" Ya, sang sutradara, Richard LaGravenese terlalu bertele-tele dalam menyampaikan adegan ceritanya sehingga penonton merasa capek tanpa adanya klimaks yang mengobati. Satu hal yang mungkin mengundang daya tarik penonton adalah bagaimana sosok Caster mengeluarkan kekuatan magis-nya. Dan lagi-lagi, adegan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pembuat film, yang ada hanyalah adegan klise seperti film-film penyihir yang lain. Entah, saya tak bisa membayangkan bagaimana para fans novelnya menonton sajian yang tidak menyenangkan ini. Oh ya, mungkin beberapa kejutan di paruh akhir bisa sedikit menghibur.
Kalo menilik dari departemen cast, mungkin bagi saya semuanya terlihat wajah-wajah baru. Mungkin itu yang membuat saya sedikit tidak suka dengan peran Alden Ehrenreich. Saya seperti melihat robot yang berakting, benar-benar kosong tanpa adanya suatu persona yang kuat. Beruntung, Alice Englert dengan paras cantiknya membuat saya memaafkan perannya yang juga kurang begitu kuat. Hal tersebut membuat chemistry akan keduanya tidak ada. Sisanya juga tampil biasa-biasa saja, namun sedikit nilai tambah bagi Emmy Rossum yang maksimal dalam memberikan penampilan terbaiknya. Hanya saja, masih terbatas pada porsi penceritaan. Jadi menjawab pertanyaan di awal paragraf tadi, Secara keseluruhan, Beautiful Creatures adalah sebuah presentasi yang mmmmmm....yah tidak begitu bagus (bukan berarti saya membencinya, seperti yang saya bilang di awal tadi). Ditambah dengan banyak yang menyamakan dengan saga Twilight, sial memang. Mungkin para Caster tersebut harus benar-benar menyihir pembuat film agar mereka beruntung untuk dibuat versi sekuelnya.

The Fault in Our Stars

[Review] The Fault in Our Stars (2014)

Saya tak pernah lupa tanggal hari pertama sebuah film rilis di layar lebar. Berbekal ingatan yang cukup tajam itulah saya seringkali mengesampingkan kegiatan-kegiatan lain yang tak berhubungan dengan menonton film. Hari ini adalah hari pertama The Fault in Our Stars tayang, tentu setelah menyelesaikan kewajiban saya di kampus, saya siap menuju bioskop untuk menyantap film yang bergenre romantis tersebut. Ketika itu langit terlihat begitu gelap, menandakan betul bahwa tinggal menunggu waktu untuk semesta menyirami Bumi. Masa bodoh pikir saya, toh nanti di dalam teater pun juga tak terasa jika nanti akan turun hujan badai sekalipun.
Bahkan sampai film ini rilis, I didn't know anything about John Green. Penulis asal Amerika tersebut telah menelurkan beberapa karyanya dalam bentuk novel young-adult. Sudah barang tentu novel keenamnya yakni The Fault in Our Stars menjadi incaran studio raksasa Hollywood. Just like usual, kali ini sang sineas yang baru memulai debut layar lebarnya pada tahun 2012 lalu lewat Stuck in Love, Josh Boone memegang kendali penuh untuk menerjemahkan setiap halaman bahasa tulis dalam novel yang laris tak hanya dari segi penjualan namun juga dari pujian para pembacanya ini ke dalam bahasa visual. Pada umumnya, sebuah novel best-seller sudah pasti mempunyai fans-nya sendiri, mengingat hal tersebut cukup fatal sehingga bisa menjadi perhatian bagi pembuat film untuk tidak mengecewakan kalangan tersebut. Belakangan juga terlihat jelas bahwa film-film adaptasi dari ranah young-adult cukup menjual dan mampu menggandeng fans baru yang dalam hal ini belum membaca kisah aslinya yang dibukukan, but.. The Fault in Our Stars was still so adorable with simple premise.. tidak seperti koleganya dengan genre serupa yang menggantungkan pesonanya melalui mahkluk inhuman, sci-fi, fantasi, hingga dunia distopia. 

Yeah, premis yang disajikan dalam The Fault in Our Stars memang masih seputar cinta. Klise? Of course not. Ketika berbicara mengenai cinta, I'm pretty sure every people in this world pasti mempunyai makna sendiri mengenai hal penuh magis tersebut. Pun dengan film adaptasi karya John Green yang terbit tahun 2012 ini, melaluinya cinta dituturkan melalui sosok perempuan remaja cantik bernama Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley). Di usianya yang masih belia, putri semata mayang dari pasangan Michael Lancaster (Sam Trammel) dan Frannie Lancaster (Laura Dern) tersebut mengidap kanker di bagian paru-paru sehingga membuatnya harus selalu memakai alat bantu pernapasan. Tak lengkap dalam sebuah hubungan tanpa kehadiran sosok Mr. Right, untuk itulah John Green menciptakan karakter Augustus Waters (Ansel Elgort) yang ternyata mengidap tumor yang sampai sekarang masih mengerogoti tubuhnya, malangnya, dia juga kehilangan salah satu kakinya sehingga terpaksa memakai kaki palsu. I know I know, they're like impossible relationship. Tapi tentu saja jika menyangkut perkara cinta. Apapun itu, logika tak berlaku.


Sebagai orang yang terlalu percaya diri menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Cah Cinta, film-film bergenre romantis ini ibarat taman belakang rumah dimana saya seringkali bermain di area itu sampai-sampai saya hafal betul setiap elemen yang ada di dalamnya. Karena alasan itulah bagi saya sulit untuk tak jatuh hati dengan The Fault in Our Stars. Film yang karakter perempuannya mengingatkan saya kepada Jamie Sullivan di film A Walk to Remember ini memulainya dengan perlahan, rapi, dan penuh sarat emosi sehingga setiap fase dari perkenalan karakternya bisa melebur begitu mudah dengan penonton. Benar saja, menit demi menit berlalu penonton seakan dengan senang hati membukakan alam bawah sadarnya untuk dihipnotis jalinan cerita. To be honest, sedikit berlebihan jika harus menyebutkan bahwa The Fault in our Stars adalah film cengeng, tak ada sedikitpun elemen dramanya seperti dibuat-buat atau dipaksakan, semuanya teramu sempurna dalam suatu wadah yang dihiasi pemanis berupa iringan lagu yang mudah akrab di telinga terlebih dari Ed Sheeran (All of The Stars) dan Kodaline (All I Want).
Rasa-rasanya pujian paling tinggi patut disematkan pada dua karakter utama, Shailene Woodley dan Ansel Elgort. Sebuah chemistry layaknya 'ruh' bagi mereka, dan tak dipungkiri mereka berhasil saling menjaga 'ruh' tersebut. Artis yang digadang-gadang akan berperan sebagai Mary Jane dalam sekuel kedua The Amazing Spiderman ini dengan segala pesona luar biasanya mampu memperlihatkan sebagai sosok gadis penderita kanker yang tak butuh belas kasihan. Penonton dengan tulus merasa simpati, empati, dan kagum dalam waktu yang bersamaan. Bahkan Ansel Elgort yang namanya belom dikenal luas sejak kemunculannya sebagai karakter Caleb di Divergent juga mampu bersimbiosis mutualisme dengan Shailene Woodley. Mereka saling mengisi kekosongan sehingga tidak ada ruang-ruang kebosanan. Menonton mereka seperti ada perasaan sesak; sesak karena mereka hanyalah karakter fiktif, sesak karena mereka menunjukkan hal yang sulit ditunjukkan oleh orang normal, dan sesak karena hal-hal lain yang mungkin bersifat personal bagi penonton. Sekali lagi, dengan kejeniusan John Green melalui mereka cinta disampaikan dengan begitu indah, begitu pahit lewat dialog-dialog yang menyayat hati.
Hingga credit title bergulir, saya masih terdiam di kursi teater. Sejenak, otak memutar ulang pada sebuah adegan The Fault in Our Stars bagaimana pada menit-menit ketika konflik memuncak, dialog-dialog nan manis itu disenandungkan dan memperdengarkan kepada saya mengenai perasaan paling jujur seorang yang sedang jatuh hati. Tersentak saya bangkit dari lamunan dan melihat saya tinggal seorang diri dalam teater. Ah benar saja, di luar ternyata masih hujan, tidak terlalu deras memang tapi cukup bikin kuyup. Entah, tiba-tiba saya memutuskan untuk menerjang hujan, yah jika nanti tiba-tiba saya sesenggukan mengingat jalinan kisah tadi, orang-orang yang bertanya saya bisa berkilah, "Ah enggak ini cuman air hujan kok."

The Secret Life of Walter Mitty

[Review] The Secret Life of Walter Mitty (2013)

"To see the world, things dangerous to come to, to see behind walls, draw closer,
to find each other, and to feel. That is the purpose of life." - Walter Mitty
Berkhayal mungkin adalah pekerjaan yang paling menyenangkan bagi banyak orang. Di dalam khayalan, setiap orang bebas mempunyai atau melakukan hal-hal di luar yang bisa terjadi dunia nyata. Ekspresi yang tak terbatas sangat mungkin berada dalam dunia khayalan. Setidaknya itulah karakter seorang Walter Mitty. Diadaptasi dari cerita pendek berjudul sama yang dipublikasikan pada tahun 1939 oleh James Thurber ─seorang kartunis, penulis, dan jurnalis sebuah majalah terkenal waktu itu. Tak usah khawatir melihat tahun 1939-nya (walaupun saya sendiri juga belom membaca cerita pendek aslinya), ditangan sutradara yang juga sekaligus menjadi pemeran utamanya, Ben Stiller (Night at The Museum dwilogy, Tropic Thunder) merubah The Secret Life of Walter Mitty menjadi sebuah road movie yang bersetting modern dan sangat bisa dinikmati oleh penonton dari berbagai kalangan. Mungkin ini sebuah film yang ditujukan bagi pegawai kantoran dengan pekerjaan membosankannya yang ingin mencari arti hidup.

Underworld: Rise of The Lycans

Underworld: Rise of The Lycans (2009)

Alih-alih melanjutkan cerita dari Underworld: Evolution, pembuat film lebih memilih untuk membawa penonton kembali ke berabad-abad yang lalu dari dunia Underworld. Menceritakan tentang pemimpin bangsa Lycan yang pertama yaitu Lucian, sekalipun dia merupakan Lycan, dia diizinkan untuk mengabdi kepada keluarga kerajaan Vampir yang dipimpin oleh Viktor sebagai budak. Diam-diam Lucian menjalin cinta dengan Sonja, putri tunggal Viktor. Selang beberapa lama pun hubungan mereka terbongkar, Viktor pun murka karena sebenarnya hubungan Lucian dan Sonja adalah terlarang. Atas nama hukum Vampir, Viktor tega untuk menghukum mati putri tunggalnya dan menyebabkan Lucian membalas dendam dengan memanggil pasukan Lycan untuk menyerang kerajaan. Kali ini kursi sutradara diserahkan kepada Patrick Tatopoulos, yang mana justru memiliki ajalan cerita yang menyenangkan. Underworld: Rise of The Lycans adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di dua film sebelumnya. Masih bernuansa gelap dan menimbulkan kesan dingin, penonton diajak ke awal mula perang abadi antara dua monster legenda. Hanya saja adegan pertarungan yang terlihat biasa saja menyebabkan kebosanan di pertengahan film. Tanpa Kate Beckinsale yang fenomenal itu, Rhona Mitra yang berperan sebagai Sonja tetap belum sanggup mengisi kekosongan sebagai sosok Vampir yang anggun. Durasi yang lebih sebentar dari dua film sebelumnya membuat jalan cerita Underworld: Rise of The Lycans lebih padat dan membuatnya menjadi sekedar hiburan tanpa berbelit-belit.

Underworld: Evolution

Underworld: Evolution (2006)

Marcus dan Viktor adalah tetua dari bangsa Vampir yang sudah lama ditidurkan. Mereka harus menunggu waktu yang tepat untuk dibangkitkan. Viktor yang lebih dulu dibangkitkan di film pertamanya, mengalami nasib yang naas. Karena unsur ketidaksengajaan, Marcus pun bangkit dari tidurnya yang panjang dan mengetahui fakta-fakta bahwa Selene telah membunuh Viktor dan sekarang kabur bersama Michael Corvin yang sudah berubah menjadi monster setengah Vampir setengah Lycans bernama Hybrid. Marcus yang murka pun segera memburu keduanya. Masih disutradarai Len Wiseman dan dengan formula yang sama, Underworld: Evolution hadir untuk melanjutkan kisah dari Underworld. Tentu saja masih dengan nuansa yang kelam. Kali ini berfokus pada kenyataan tentang masa lalu, diperlihatkan cuplikan adegan pembuka tentang masa lalu Marcus dan Victor sebagai jalan penonton untuk memahami apa yang sebenarnya dimaksudkan dalam film ini. Underworld: Evolution masih dibalut dengan aksi penuh darah serta deretan mahkluk-mahkluk baru yang sepertinya akan membuat penonton semakin girang. Lagi-lagi tak ada sesuatu yang spesial untuk adegan aksinya. Dari kekurangan di film pertamanya, kali ini Len Wiseman cukup cerdas untuk memangkas durasinya sehingga lebih cepat dari film pertamanya. Hanya saja masih terkesan dangkal dan datar. Kate Beckinsale terlihat sudah begitu menyatu dengan Selene, tapi sayang sosok Marcus tidak terlihat semengerikan sosoknya. Underworld: Evolution bisa dikatakan semakin menghibur.

Last Christmas

Review 'Last Christmas': Tak Seperti Film Komedi Romantis Biasa

Untitled Image
Poster film Last Christmas (Foto: Universal Pictures)
Play Stop Rewatch, Jakarta – Setiap tahun, momen natal selalu diwarnai dengan rilisnya film-film yang bertema “Christmas Movie”. Tidak terkecuali tahun ini, di mana salah satu dari daftar Christmas Movie 2019 adalah film Last Christmas.
ADVERTISEMENT
Film ini disutradarai oleh Paul Feig, dibintangi oleh Emilia Clarke (Game of Thrones), Henry Golding (Crazy Rich Asians), serta beberapa legenda hidup industri perfilman seperti Michelle Yeoh dan Emma Thompson. Bahkan, Emma Thompson juga mendapat credit sebagai penulis screenplay untuk film ini. Kabarnya, Thompson bahkan sudah memulai penulisan script untuk film ini sejak 2010.
Untitled Image
Kate dan Tom (Foto: Universal Pictures)
Last Christmas menceritakan tentang kehidupan seorang wanita bernama Kate (Clarke) yang bekerja di sebuah toko yang menjual barang-barang bernuansa natal milik Santa (Yeoh). Hidupnya boleh dibilang cukup berantakan hingga akhirnya dia bertemu seorang pria bernama Tom (Golding), yang terlihat sangat dewasa, dan anehnya terasa memiliki ikatan batin yang kuat dengan Kate.
Sejak itu, sedikit demi sedikit Kate mulai menata hidupnya. Mulai dari berusaha memperbaiki kinerjanya di toko Santa, menjalin kembali hubungannya dengan keluarganya, serta berusaha membantu para tunawisma sebagai sukarelawan di tempat Tom bekerja. Namun, seperti halnya kehidupan nyata, selalu ada konflik yang bahkan tidak pernah terbayangkan sebelumnya dan Kate harus menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Karakter Kate akan mengingatkan kita pada Annie (Kristen Wiig) dari film Bridesmaids (2011) serta Ashbudn (Sandra Bullock) dari film The Heat (2013), yang mana kedua film tersebut juga disutradarai oleh Paul Feig. Ketiga film ini memiliki kesamaan, lead female character-nya memiliki pembawaan yang canggung serta kehidupan pribadi yang kurang mulus. Tampaknya hal ini merupakan salah satu ciri khas Paul Feig.
Untitled Image
Salah satu cuplikan dari film Last Christmas (Foto: Universal Pictures)
Film ini juga menjadi kolaborasi kedua antara Feig dan Henry Golding setelah A Simple Favor (2018). Golding juga menjadi lead male character di film Crazy Rich Asians (2018), film di mana dia pun beradu akting dengan Michelle Yeoh. Sementara bagi Emilia Clarke, film ini merupakan film dengan tema romantis keduanya setelah Me Before You (2016).
ADVERTISEMENT
Last Christmas, seperti halnya Bridesmaids (2011), bukan merupakan komedi romantis biasa. Semua koneksi Kate dengan orang-orang di sekitarnya terasa sangat realistis, mulai dari hubungan dengan bosnya, dengan ibu dan ayahnya, serta saudarinya yang naik-turun. Justru, hubungan antara Kate dengan love interest utamanya, Tom, terasa kurang nyata. Namun pada akhirnya, Last Christmas tetap memberikan kesan heartwarming dan menghibur.
Sentuhan komedi yang quirky ala Paul Feig cukup terasa di film ini. Michelle Yeoh, memesona dan elegan seperti biasanya, namun juga mampu membuat kita tertawa dengan comedy-chop yang cukup kuat. Bahkan, secara mengejutkan, duo polisi wanita yang diperankan oleh Laura Evelyn dan Ingrid Oliver berhasil mencuri perhatian dengan jokes-nya, meskipun hanya tampil dalam durasi yang boleh dibilang sedikit.
ADVERTISEMENT
PSR memberikan nilai 7/10 untuk Last Christmas. Bagi anda yang ingin menonton hiburan yang tidak terlalu berat, Last Christmas sangat direkomendasikan untuk tontonan natal.

Quarantine

REVIEW: QUARANTINE





















"On March 11 2008, the government sealed off an apartment complex in Los Angeles. The residents were never seen again. No details. No witnesses. No evidence. Until now."

Quarantine adalah remake dari film horor Spanyol tahun 2007, berjudul Rec. Tadinya saya ga terlalu tertarik buat nonton film ini, pertama karena covernya ga menarik minat nonton saya, dua karena saya bukan penggila horor atau thriller dan sejenisnya. Hehe.. Tapi semenjak buat blog, saya harus lebih objektif dong dalam nonton film, ga boleh cuma nonton genre favorit saya aja, nanti yang baca malah boseeeennn.. ^^ Well, akhirnya senin kemarin saya nonton Quarantine juga! Sebelumnya saya sempet dapat komentar buruk tentang film ini dari mama saya yang udah nonton duluan, katanya dia sampai mabok nontonnya! Iya, MABOK katanya! Awalnya saya ga ngerti maksudnya apaaaaa, dalam hati saya koq mama saya katrok banget, masa nonton horor dikit sampai mabok gitu. Haha.. Dan ternyataaaaaaaa..saya juga mabok nonton Quarantine! Ga tau apa karena kena sugesti sama kata" mama saya atau emang filmnya yang punya efek bikin orang mabok? Fiuhhh..awalnya sih biasa aja, tapi terakhir" perut saya muaaaaaalllll! Well mungkin pengaruh belum makan juga kali yaa, jd perut kosong lebih cepet eneg, right? Film ini tuh bercerita tentang salah satu stasiun TV yang mau meliput secara langsung (reality show gitu) aksi pemadam kebakaran di malam hari. Tidak disangka ternyata misi yang mereka ikuti itu adalah misi yang sangat menyeramkan. Para anggota pemadam kebakaran mendapat panggilan ke sebuah apartement yang katanya mendengar suara teriakan seorang wanita penghuninya. Ternyata wanita itu mengidap penyakit misterius yang belakangan diketahui adalah rabies yang menyerang manusia, sangat cepat menular ke satu sama lain! Mereka yang terinfeksi menjadi ganas! Sialnya lagi, mereka tidak dapat keluar dari apartemen tersebut karena pemerintah memerintahkan untuk menyegel apartemen tersebut. Perbuatan tersebut dimaksudkan agar virus rabies tidak menyebar luas. Jadilah selama film hanya syuting di apartement saja! Kenapa saya bisa mabok nonton film ini?????? Karena ceritanya tuh dibikin seperti kita lagi nonton acara reality show, jadi kameranya sepanjang film asik goyang kiri kanan atas bawah. . . Pusing banget dah! Ga tau yaa menurut kamu" yang udah nonton gimana, tapi ini murni pendapat saya pribadi.. Hehe.. Btw, banyak temen saya yang bilang bagusan versi aslinya, Rec, jauuuuhhhhh banget! Saya sendiri belum nonton Rec sih, jadi ga tau deh..

A Dog's Purpose

Review Film: Belajar Kesetiaan Hewan Lewat Film A Dog’s Purpose

A Dog's Purpose (Foto: Tribute)
Diadaptasi dari novel best-seller karya W. Bruce Cameron dengan judul yang sama, A Dog’s Purpose adalah film karya Lasse Hallström yang dibintangi oleh Josh Gad, Dennis Quaid, K.J. Apa, Bryce Gheisar, Peggy Lipton, dan Britt Robertson. Digarap oleh rumah produksi Amblin Entertainment, Walden Media, Reliance Entertainment, yang berasosiasi dengan Universal Pictures.
Ethan dan ibunya bermain bersama Bailey (Foto: Collider)
Ethan dan ibunya bermain bersama Bailey (Foto: Collider)
Bersetting di tahun 1962 saat peristiwa krisis rudal Kuba, A Dog’s Purpose memulai ceritanya dengan seekor anjing bernama Bailey (Josh Gad) yang diselamatkan oleh Ethan kecil (Bryce Gheisar) dan ibunya (Juliet Rylance) dari mobil penculik anjing. Bailey akhirnya tinggal bersama keluarga Ethan dan semakin dekat dengan Ethan. Kalung Bailey pun disematkan oleh Ethan sebagai penanda penting di film ini. Masalah mulai muncul ketika ayah Ethan yang seorang pemabuk (Luke Kirby) mengundang bosnya untuk makan malam di rumah.
Ethan remaja bersama Bailey dalam film A Dog's Purpose (Foto: WSJ)
Ethan remaja bersama Bailey dalam film A Dog’s Purpose (Foto: WSJ)
Waktu berlalu sampai Ethan beranjak remaja dan jatuh cinta pada Hannah (Britt Robertson) berkat bantuan Bailey. Kemesraan pasangan ini terus berlanjut sampai peristiwa mengenaskan yang menimpa Ethan membuat hubungan mereka berakhir. Bailey yang sudah semakin tua juga mulai sakit-sakitan dan akhirnya menemui ajal. Namun, cerita belum berakhir sampai di situ.
John Ortiz dalam sebuah adegan film A Dog's Purpose. (Foto: Joe Lederer/Universal Studios via AP)
John Ortiz dalam sebuah adegan film A Dog’s Purpose. (Foto: Joe Lederer/Universal Studios via AP)
Bailey kemudian bereinkarnasi menjadi anjing pelacak German Shepherd bernama Ellie yang membantu Carlos (John Ortiz) di Chicago Police Department. Nahas, nyawanya kembali direnggut saat mencoba menyelamatkan Carlos ketika melawan seorang penjahat. Jiwa Bailey bereinkarnasi kembali menjadi anjing lucu jenis Corgi yang diadopsi oleh seorang mahasiswi (Kerby Howell-Baptiste).
Singkat cerita, Bailey akhirnya masuk pada fase reinkarnasi terakhir ketika ia menjadi anjing jenis Australian Shepherd yang dicampakkan. Bailey kabur mengikuti indera penciumannya sampai ke ladang gandum yang sudah familiar dengannya. Di situlah ia kembali bertemu dengan Ethan tua (Dennis Quaid) yang hidup sendiri mengurus ladang.
Dennis Quaid memerankan Ethan tua, bertemu Bailey yang sudah reinkarnasi (Foto: Adogspurposemovie)
Dennis Quaid memerankan Ethan tua, bertemu Bailey yang sudah reinkarnasi (Foto: Adogspurposemovie)
A Dog’s Purpose mengajarkan tentang makna di balik kesetiaan hewan yang dikenal setia terhadap majikannya ini. Kita seolah diajak mengenal lebih dalam tentang apa yang ada di pikiran seekor anjing, khas dengan shot point of view dari tokoh anjing di tiap adegan filmnya. Alur cerita dibuat tidak begitu rumit dengan selalu dipandu voice over Josh Gad yang jenaka.
Lasse Hallström termasuk sutradara yang sudah ahli menangani film dengan anjing sebagai tokoh utama. Terbukti pada film Hachi: A Dog’s Tale yang menuai kesuksesan berkat kepiawaiannya memainkan emosi penonton. Pada film A Dog’s Purpose ia juga berusaha menghadirkan drama komedi yang lebih bervariasi dalam hal visual dan musik yang juga membuat kita terharu.
Terlepas dari kontroversi tentang dugaan kekerasan pada hewan dalam proses pembuatannya, film ini cocok untuk kamu yang termasuk pecinta anjing. Kita akan dibuat gemas melihat tingkah lucu anjing-anjing di film ini.
Yuk kita belajar menyayangi hewan dengan nonton film A Dog’s Purpose di bioskop. Beli tiketnya di sini.

Because of Winn-Dixie

Because of Winn-Dixie (2005)

B+ SDG Original source:
It’s a dark and stormy night.
2005, Walden / 20th Century Fox. Directed by Wayne Wang. Annasophia Robb, Jeff Daniels, Cicely Tyson, Dave Matthews, Eva Marie Saint, Courtney Jines, Nick Price, Luke Benward, Elle Fanning.

Age Appropriateness

Kids & Up

MPAA Rating

PG

Caveat Spectator

Accessible treatment of themes relating to a broken marriage and alcohol abuse.
Suddenly, the dog leaps up on his young mistress’s bed, barking frantically, and wakes her up. Then he races into her father’s room, rousing him as well, drawing them both from their beds before tearing to the other side of their mobile home.
What’s wrong? Does he smell smoke? Gas? Can he hear thieves sneaking around outside?
In almost any other dog movie, yes. But Because of Winn-Dixie isn’t any other dog movie, and Winn-Dixie isn’t any other movie dog. Unlike typical Hollywood canines from Lassie to Old Yeller to Benji, Winn-Dixie is a regular dog, not a super-dog. He doesn’t save lives, fend off attacking animals or humans, or peform perform outstanding if not super-canine feats of intelligence and dexterity.
Turns out, the dog’s just scared of thunderstorms. We don’t know why. Far from a Hollywood super-dog, he’s just another wounded soul — like everyone else in Naomi, Florida, including young India Opal Buloni (newcomer Annasophia Robb) and her father (Jeff Daniels), a struggling Baptist preacher and single dad who always changes the subject whenever Opal asks about her mother.
Faithfully adapted from the popular Newbery Honor novel by Kate DiCamillo, Because of Winn-Dixie is a good family film frequently verging on being an excellent one, and is quite a bit better than the dog-movie clichés suggested by the trailers.
Fans of the book can rest easy: Like Holes, the 2002 breakout hit from education-oriented Walden Media, Because of Winn-Dixie is true to its source material. A few supporting characters have been added and a few plot points changed, but the film, directed by Wayne Wang (Maid in Manhattan), cements Walden’s commitment to producing faithful adaptations of quality children’s literature. (Walden was also responsible for last year’s uneven I Am David — and, of course, this year’s much-anticipated The Lion, The Witch & the Wardrobe.) It’s a shame Walden didn’t beat Disney to the punch on the latter’s recent Tuck Everlasting, which was substantially diminished by a number of departures from the book.
Opal and her father, simply called the Preacher, are newcomers to the not especially welcoming fictional community of Naomi (the film was actually shot in Napoleonville, Louisiana). The Preacher’s new calling is a storefront church with metal folding chairs in which the good people of Naomi sit stolidly, as if daring him to try to inspire them.
Their residence is a mobile home whose owner, with something less than real graciousness, allows them to stay rent-free — at least, until the momentous day that lonely Opal, desperate for a friend, spots a big, shaggy dog wreaking havoc at the local Winn-Dixie supermarket and impulsively claims him as her own, bestowing on him the first name that comes into her head.
Although the film includes enough sporadic beastiary slapstick to keep even the youngest viewers reasonably entertained, Because of Winn-Dixie is really about Opal’s summer of discovery, in which she makes new friends, brings neighbors together, learns the truth about her mother, and grows closer to her father.
Winn-Dixie is involved in all this, of course, but it’s not like he deliberately sets out to engineer a social life for his mistress, much less solve other people’s problems. In fact, the secret of Winn-Dixie’s success is simply the secret that has made dogs so spectacularly successful as companions to human beings for thousands of years: an instinctive but uncanny attentiveness and sensitivity to human behavior and emotions.
Among the locals Opal meets and ultimately brings together are Otis (musician Dave Matthews), a gruff but soulful drifter and ex-con working in a pet shop; Miss Franny (Eva Marie Saint), a high-strung librarian with a stock of curiously bittersweet candies; and Gloria (Cicely Tyson), a reclusive blind woman whom neighborhood boys teasingly allege is a “witch” and who (like Ray Charles’s mother in one of the childhood memory sequences in Ray) has a tree in her back yard from which countless empty liquor bottles dangle on strings.
The film makes a few missteps here. Among the characters it introduces is a slapstick yokel cop who is suspicious of the drifter Otis and suggests that he may have something to do with the fact that the owner of the pet shop, Miss Gertrude, doesn’t seem to be around. This loose plot end is never tied up; we never see Miss Gertrude or learn any more about her.
The unresolved suggestion that Otis may be a malefactor substantially magnifies the problematic nature of Opal frequenting the shop alone, even wheedling herself a job there in order to pay for a collar for Winn-Dixie. Clearly Otis is meant to be a decent guy, but if I were the Preacher there’s no way on earth I’d let my 10-year-old daughter spend hours alone with an unknown drifter ex-con who may or may not be squatting in a pet shop whose owner may or may not be missing.
These issues could easily have been patched up in the third act, when most of the cast comes together for an impromptu party at Gloria’s house. All the film had to do was bring Miss Gertrude to the party, along with Otis and Miss Franny. Better yet, why not invite the cop too? Because of Winn-Dixie wears on its warm, fuzzy humanism on its sleeve, nowhere more so than in the party invite list, but it falls short of extending that fuzzy humanism to bonehead cops (a second example of which figures significantly in one character’s back story).
But the story has enough heart to carry it past these missteps. Among the film’s strongest moments are a number of strikingly effective imagination / childhood memory / fantasy sequences that put to shame similar fantasy sequences in another current film, the (in my opinion) over-praised Best Picture nominee Finding Neverland.
The comparison is heightened by the fact that in both films the first fantasy / imagination sequence involves a bear. The bear footage in Finding Neverland for me lacks the necessary playfulness and whimsy, being clumsily intercut with Johnny Depp and his English sheepdog. By contrast, the effect in Because of Winn-Dixie is more pleasing. There’s also a terrifically imaginative fantasy shot involving a Volkswagen Beetle that beats hollow anything in Finding Neverland. And dim, grainy footage of Opal’s mother, barely glimpsed playing peekaboo behind a tree, is one of the most evocative visualizations of the elusiveness of childhood memory that I’ve ever seen.
Following the book, Because of Winn-Dixie addresses some tough themes, including broken families and alcoholism, in a way that is accessible to children and never inappropriate even for the youngest. Although the film is seldom preachy, its themes of community and healing are framed in a Christian cultural milieu defined above all by the Preacher, a rare sympathetic clergyman who prays and preaches but is above all an ordinary and quite fallible guy.
Like Miss Franny’s semi-magical candies, Because of Winn-Dixie is both sweet and sad, a blend that does the heart good.