[Review] The Fault in Our Stars (2014)
Saya tak pernah lupa tanggal hari pertama sebuah film rilis di layar
lebar. Berbekal ingatan yang cukup tajam itulah saya seringkali
mengesampingkan kegiatan-kegiatan lain yang tak berhubungan dengan
menonton film. Hari ini adalah hari pertama The Fault in Our Stars
tayang, tentu setelah menyelesaikan kewajiban saya di kampus, saya siap
menuju bioskop untuk menyantap film yang bergenre romantis tersebut.
Ketika itu langit terlihat begitu gelap, menandakan betul bahwa tinggal
menunggu waktu untuk semesta menyirami Bumi. Masa bodoh pikir saya, toh
nanti di dalam teater pun juga tak terasa jika nanti akan turun hujan
badai sekalipun.
Bahkan sampai film ini rilis, I didn't know anything about John Green. Penulis asal Amerika tersebut telah menelurkan beberapa karyanya dalam bentuk novel young-adult. Sudah barang tentu novel keenamnya yakni The Fault in Our Stars menjadi incaran studio raksasa Hollywood. Just like usual, kali ini sang sineas yang baru memulai debut layar lebarnya pada tahun 2012 lalu lewat Stuck in Love,
Josh Boone memegang kendali penuh untuk menerjemahkan setiap halaman
bahasa tulis dalam novel yang laris tak hanya dari segi penjualan namun
juga dari pujian para pembacanya ini ke dalam bahasa visual. Pada
umumnya, sebuah novel best-seller sudah pasti mempunyai fans-nya
sendiri, mengingat hal tersebut cukup fatal sehingga bisa menjadi
perhatian bagi pembuat film untuk tidak mengecewakan kalangan tersebut.
Belakangan juga terlihat jelas bahwa film-film adaptasi dari ranah young-adult cukup menjual dan mampu menggandeng fans baru yang dalam hal ini belum membaca kisah aslinya yang dibukukan, but.. The Fault in Our Stars was still so adorable with simple premise.. tidak seperti koleganya dengan genre serupa yang menggantungkan pesonanya melalui mahkluk inhuman, sci-fi, fantasi, hingga dunia distopia.
Yeah, premis yang disajikan dalam The Fault in Our Stars memang masih seputar cinta. Klise? Of course not. Ketika berbicara mengenai cinta, I'm pretty sure every people in this world
pasti mempunyai makna sendiri mengenai hal penuh magis tersebut. Pun
dengan film adaptasi karya John Green yang terbit tahun 2012 ini,
melaluinya cinta dituturkan melalui sosok perempuan remaja cantik
bernama Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley). Di usianya yang masih
belia, putri semata mayang dari pasangan Michael Lancaster (Sam Trammel)
dan Frannie Lancaster (Laura Dern) tersebut mengidap kanker di bagian
paru-paru sehingga membuatnya harus selalu memakai alat bantu
pernapasan. Tak lengkap dalam sebuah hubungan tanpa kehadiran sosok Mr.
Right, untuk itulah John Green menciptakan karakter Augustus Waters
(Ansel Elgort) yang ternyata mengidap tumor yang sampai sekarang masih
mengerogoti tubuhnya, malangnya, dia juga kehilangan salah satu kakinya
sehingga terpaksa memakai kaki palsu. I know I know, they're like impossible relationship. Tapi tentu saja jika menyangkut perkara cinta. Apapun itu, logika tak berlaku.
Sebagai orang yang terlalu percaya diri menyebut dirinya sendiri dengan
sebutan Cah Cinta, film-film bergenre romantis ini ibarat taman belakang
rumah dimana saya seringkali bermain di area itu sampai-sampai saya
hafal betul setiap elemen yang ada di dalamnya. Karena alasan itulah
bagi saya sulit untuk tak jatuh hati dengan The Fault in Our Stars. Film yang karakter perempuannya mengingatkan saya kepada Jamie Sullivan di film A Walk to Remember
ini memulainya dengan perlahan, rapi, dan penuh sarat emosi sehingga
setiap fase dari perkenalan karakternya bisa melebur begitu mudah dengan
penonton. Benar saja, menit demi menit berlalu penonton seakan dengan
senang hati membukakan alam bawah sadarnya untuk dihipnotis jalinan
cerita. To be honest, sedikit berlebihan jika harus menyebutkan bahwa The Fault in our Stars adalah
film cengeng, tak ada sedikitpun elemen dramanya seperti dibuat-buat
atau dipaksakan, semuanya teramu sempurna dalam suatu wadah yang dihiasi
pemanis berupa iringan lagu yang mudah akrab di telinga terlebih dari
Ed Sheeran (All of The Stars) dan Kodaline (All I Want).
Rasa-rasanya pujian paling tinggi patut disematkan pada dua karakter utama, Shailene Woodley dan Ansel Elgort. Sebuah chemistry
layaknya 'ruh' bagi mereka, dan tak dipungkiri mereka berhasil saling
menjaga 'ruh' tersebut. Artis yang digadang-gadang akan berperan sebagai
Mary Jane dalam sekuel kedua The Amazing Spiderman ini dengan
segala pesona luar biasanya mampu memperlihatkan sebagai sosok gadis
penderita kanker yang tak butuh belas kasihan. Penonton dengan tulus
merasa simpati, empati, dan kagum dalam waktu yang bersamaan. Bahkan
Ansel Elgort yang namanya belom dikenal luas sejak kemunculannya sebagai
karakter Caleb di Divergent juga mampu bersimbiosis mutualisme
dengan Shailene Woodley. Mereka saling mengisi kekosongan sehingga tidak
ada ruang-ruang kebosanan. Menonton mereka seperti ada perasaan sesak;
sesak karena mereka hanyalah karakter fiktif, sesak karena mereka
menunjukkan hal yang sulit ditunjukkan oleh orang normal, dan sesak
karena hal-hal lain yang mungkin bersifat personal bagi penonton. Sekali
lagi, dengan kejeniusan John Green melalui mereka cinta disampaikan
dengan begitu indah, begitu pahit lewat dialog-dialog yang menyayat
hati.
Hingga credit title bergulir, saya masih terdiam di kursi teater. Sejenak, otak memutar ulang pada sebuah adegan The Fault in Our Stars bagaimana
pada menit-menit ketika konflik memuncak, dialog-dialog nan manis itu
disenandungkan dan memperdengarkan kepada saya mengenai perasaan paling
jujur seorang yang sedang jatuh hati. Tersentak saya bangkit dari
lamunan dan melihat saya tinggal seorang diri dalam teater. Ah benar
saja, di luar ternyata masih hujan, tidak terlalu deras memang tapi
cukup bikin kuyup. Entah, tiba-tiba saya memutuskan untuk menerjang
hujan, yah jika nanti tiba-tiba saya sesenggukan mengingat jalinan kisah
tadi, orang-orang yang bertanya saya bisa berkilah, "Ah enggak ini
cuman air hujan kok."
No comments:
Post a Comment