Review: Ender’s Game (2013)
The book is better than this movie. Dan pernyataan tersebut berlaku bahkan untuk Anda yang sama sekali tidak menyadari bahwa Ender’s Game diadaptasi dari sebuah novel. Ditulis oleh novelis Amerika Serikat, Orson Scott Card, Ender’s Game
adalah sebuah novel fiksi ilmiah yang menyimpan begitu banyak metafora
mengenai kehidupan sosial serta politik manusia meskipun deretan
karakter dan konflik yang terjadi di dalamnya membuat novel ini sekilas
hanya terlihat sebagai sebuah kisah yang diorientasikan bagi kalangan young adult.
Kandungan satir sosial politik yang berbalut kisah fiksi ilmiah inilah
yang mampu membuat naskah cerita arahan sutradara Gavin Hood (X-Men Origins: Wolverine,
2009) terasa begitu kuat dalam menantang kemampuan intelektual para
penontonnya. Sayangnya, pada kebanyakan bagian, Hood justru seperti
terlalu berusaha untuk menjadikan Ender’s Game sebagai sebuah presentasi dengan daya tarik a la film-film blockbuster
Hollywood yang (terlalu) luas sehingga membuat film ini justru seperti
kehilangan arah sekaligus banyak bagian esensial dalam penceritaannya.
Ender’s Game berlatar belakang di
masa depan dimana manusia baru saja berusaha bangkit kembali setelah
sekelompok makhluk asing dari luar angkasa datang dan menyerang Bumi.
Untuk mencegah kembali kedatangan sekaligus penyerangan para makhluk
asing dari luar angkasa di masa yang akan datang, pihak militer yang
menyebut diri mereka International Fleet telah membentuk Battle School
dan Command School dimana mereka akan melatih para anak-anak yang
terpilih untuk menjadi prajurit dan membela planet Bumi ketika para
makhluk asing dari luar angkasa kembali datang menyerang. Salah satu
anak yang begitu hasrat untuk dapat ambil bagian dalam pasukan pembela
Bumi tersebut adalah Andrew Wiggin (Asa Butterfield) atau ang lebih
akrab dipanggil dengan nama Ender. Sebagai anak ketiga dalam
keluarganya, Ender memiliki sikap keras seperti kakak laki-lakinya,
Peter (Jimmy Pinchak), sekaligus rasa kasih sayang yang mendalam seperti
kakak perempuannya, Valentine (Abigail Breslin). Dipadukan dengan
kecerdasan pribadinya, sosok Ender berhasil menarik perhatian Colonel
Graff (Harrison Ford) dan Major Gwen Anderson (Viola Davis) yang lantas
menaruh perhatian mereka pada Ender serta percaya bahwa dirinya adalah
sosok pahlawan yang selama ini telah mereka cari.
Namun, tentu saja, perjalanan untuk
menempuh berbagai pelatihan di Battle School sama sekali tidaklah mudah.
Selain harus menghadapi berbagai tantangan yang menguji ketangguhan
fisik serta kecerdasan otak dan emosionalnya, Ender juga masih harus
berhadapan dengan beberapa murid lain yang mencoba untuk menghalangi
jalannya. Dengan segala ketekunannya, Ender berhasil dengan mudah
membuktikan berbagai keunggulannya. Karena hal itu pula, International
Fleet lantas langsung membawa Ender ke wilayah perang – meskipun tanpa
persetujuan dari Major Gwen Anderson yang menganggap dirinya masih
terlalu muda. Colonel Graff menginginkan Ender untuk menjadi sosok yang
tangguh dan menanamkan kepadanya bahwa pemusnahan seluruh ras makhluk
asing dari luar angkasa akan menjadi jalan aman bagi seluruh manusia di
permukaan Bumi. Ide itulah yang kemudian secara perlahan mulai
menghantui Ender. Sifat penuh kasih yang ada di dalam dirinya lantas
mulai membawa Ender untuk mengetahui lebih banyak mengenai siapa musuh
yang sebenarnya akan ia hadapi.
Terlepas dari berbagai filosofi yang
ingin dihantarkan melalui jalan penceritaannya, Gavin Hood sepertinya
lebih memilih untuk menghantarkan Ender’s Game menjadi seri awal dari sebuah franchise terbaru yang ditujukan bagi para penonton young adult. Di saat yang bersamaan, hal inilah justru yang membuat Hood terkesan mendapat halangan yang begitu besar dalam mengeksplorasi Ender’s Game
secara total. Benar bahwa Hood mampu menyajikan film ini dengan tatanan
kualitas produksi yang begitu memukau namun Hood kemudian
mengkompromikan tampilan penggunaan teknologi produksi serba canggih
tersebut dengan pengembangan jalan cerita dan karakter yang begitu
terbatas. Lihat saja bagaimana karakter Ender digambarkan begitu dekat
dengan karakter Valentine namun tidak pernah diberikan penjelasan
mengapa ia berhubungan sedekat itu dengan kakaknya. Atau bagaimana Ender
yang digambarkan memiliki hati yang begitu lembut dan menyayangi para
musuhnya mampu untuk menghabisi bahkan hampir menghilangkan nyawa para
penantangnya – atau kebalikannya. Penuh dengan konflik yang gagal untuk
tergali dengan baik.
Potensi-potensi inilah yang jelas memberikan gambaran bahwa versi novel dari Ender’s Game
jelas memiliki kandungan kisah (serta filosofi) yang lebih mendalam,
mulai dari konsep penggunaan anak-anak sebagai prajurit hingga bagaimana
manusia memilih untuk melenyapkan sesuatu yang tidak dikenalnya karena
dianggap berbahaya tanpa berusaha untuk mempelajari sesuatu yang baru
tersebut muncul dalam kilasan kisah film Ender’s Game namun tidak pernah benar-benar mampu disajikan secara kuat. Penekanan franchise young adult
juga dapat dirasakan pada deretan dialog yang diciptakan Hood – yang
memilih untuk menghadirkan deretan dialog yang begitu ringan sehingga
seringkali terdengar bodoh atau malah menggelikan.
Terlepas dari naskah yang memiliki
kekurangan di banyak bagian, Hood beruntung karena pasukannya diperkuat
oleh talenta-talenta akting dan produksi yang unggul. Meskipun
seringkali terlihat kelelahan, Harrison Ford mampu tampil baik sebagai
Colonel Graff yang keras. Begitu juga dengan Viola Davis dan Ben
Kingsley yang berhasil mencuri perhatian dalam setiap penampilan mereka
di adegan cerita. Walaupun karakter mereka tidak memiliki kedalaman dan
pengembangan yang kuat, Abigail Breslin dan Hailee Steinfeld mampu
menghidupkan karakter yang mereka perankan dengan baik. Namun, jelas,
bintang utama Ender’s Game adalah sang pemeran utama, Asa Butterfield. Setelah The Boy with Striped Pyjamas (2008) dan Hugo
(2011), Butterfield jelas mampu membuktikan bahwa dirinya memiliki
jangkauan akting yang sangat memuaskan. Hal itu kembali dibuktikannya
lewat film ini dimana Butterfield tampil begitu meyakinkan dalam
perannya sebagai sosok anak laki-laki dengan kepribadian yang begitu
kompleks. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Ender’s Game juga didukung dengan tata produksi yang menawan. Jika ingin memberikan highlight
istimewa pada bagian produksi, maka tata musik arahan Steve Jablonsky
jelas pantas untuk diberikan kredit lebih karena kemampuannya untuk
menghadirkan tambahan sentuhan emosional dalam setiap adegan film.
Meskipun dengan dukungan meteri awal
cerita yang cenderung gelap namun dapat dirasakan begitu kuat, Gavin
Hood sayangnya gagal untuk mengeksplorasi berbagai sudut penceritaan
serta deretan karakter yang ada dalam Ender’s Game secara lebih mendalam. Hasilnya, Ender’s Game
memang terlihat begitu meyakinkan ketika berbicara secara visual maupun
dari tatanan kualitas produksi lainnya namun dari segi penceritaan… Ender’s Game
terasa berjalan tanpa fokus yang kuat dan akhirnya kehilangan begitu
banyak elemen emosional (dan intelektual) yang seharusnya mampu
dihadirkan oleh jalan cerita film ini. Summit Entertainment jelas
menginginkan seri pertama Ender’s Game akan berbuntut sebagai sebuah franchise
dengan seri yang panjang. Namun dengan hasil yang seperti ini… mungkin
tidak akan banyak penonton yang tertarik dan penasaran dengan apa yang
akan terjadi pada seri berikutnya.
Ender’s Game (Action | Adventure | Sci-Fi, 2013)
Directed by Gavin Hood Produced by Orson Scott Card, Robert Chartoff, Lynn Hendee, Alex Kurtzman, Linda McDonough, Roberto Orci, Gigi Pritzker, Ed Ulbrich Written by Gavin Hood (screenplay), Orson Scott Card (book, Ender’s Game) Starring Asa
Butterfield, Harrison Ford, Hailee Steinfeld, Abigail Breslin, Ben
Kingsley, Viola Davis, Aramis Knight, Suraj Parthasarathy, Moisés Arias,
Khylin Rhambo, Jimmy Pinchak, Nonso Anozie, Conor Carroll, Caleb J.
Thaggard, Cameron Gaskins, Stevie Ray Dallimore, Andrea Powell, Brandon
Soo Hoo, Kyle Russell Clements, Orson Scott Card Music by Steve Jablonsky Cinematography Donald McAlpine Editing by Lee Smith, Zach Staenberg Studio Summit Entertainment/OddLot Entertainment/Chartoff Productions/Taleswapper/K/O Paper Products/Digital Domain Running time 114 minutes Country United States Language English
No comments:
Post a Comment