Resensi Film: The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 (2015)
Bukan film yang terbaik dari seri “The Hunger Games”, tetapi tetap
punya daya tariknya tersendiri. Film “The Hunger Games” terakhir yang
juga film paling lemah dari semuanya. Jika bukan penggemar yang
mengikuti franchise ini, pastilah merasa bingung dan hambar. Namun bagi fans setianya, Part 2 ini merupakan salam perpisahan yang melegakan.
*SPOILER ALERT*
Setelah Part 1 ditutup dengan sangat mencengangkan, yaitu Peeta
dicuci otak dan jadi ingin membunuh Katnis; Part 2 dilanjutkan dengan
momen Peeta yang benar-benar sudah berubah 180 derajat. Katniss kali ini
harus berjuang meyakinkan Distrik 2 untuk menyerah, karena Distrik 2
adalah pusat persenjataan Capitol. Setelah itu, pasukan pemberontak di
bawah pimpinan Presiden Coin, sudah semakin kuat dan segera menyerang
Capitol. Tetapi tidak semudah itu, karena Katniss semakin menyadari
bahwa Presiden Coin tidak jauh beda dengan Presiden Snow. Jadi, siapa
yang sedang bermain dan dipermainkan?
Kekuatan The Hunger Games memang ada pada cerita aslinya yang ditulis
oleh Suzanne Collins. Filmnya sendiri mampu melengkapi apa yang ada di
imajinasi pembaca.Meski sungguh disayangkan, sutradara Francis Lawrence
terlalu bertele-tele pada momen-momen yang kurang penting, yang membuat
durasi film 2 jam 16 menit terasa lama. Memang sih, penonton tidak
keberatan untuk menyaksikan setting,properti, make-up dan
kostum yang bagus; tetapi hal ini mengakibatkan alur ceritanya menjadi
kurang greget. Justru kali ini, pusat cerita terlalu banyak berfokus
pada dilema suara hati dan politik yang dialami Katniss. Seharusnya,
lebih banyak waktu digunakan untuk menceritakan perjuangan skuadron
menemani Katniss hingga ke Capitol; agar ketika banyak dari mereka yang
terbunuh; penonton bisa lebih merasa kehilangan.
Untungnya, khas film The Hunger Games, selalu ada momen-momen
mencengangkan dan diakhiri dengan dramatis. Jennifer Lawrence sekali
lagi berhasil membawa suasana itu ditangkap oleh penonton. Akting lewat
ekspresi mukanya sungguh luar biasa berkarakter. Josh Hutcherson juga
berhasil tampil memukau, meski porsinya tidak terlalu banyak. Setidaknya
chemistry mereka berdua tetap terasa kuat.
Pada akhirnya, sekali lagi, cerita lah yang menjadi kekuatan The
Hunger Games; bagaimana Primrose — alasan kenapa Katniss bisa masuk di
Hunger Games, demi menggantikan adiknya — tetap mati pada akhirnya.
Bagaimana perbedaan prinsip, tanpa perlu dibicarakan, mengakhiri
hubungan antara Gale dengan Katniss; bagaimana presiden Snow &
Katniss — musuh abadi — justru menjalin satu pengertian atas hal yang
sedang terjadi; serta betapa banyak orang yang sudah mati berkorban
(Finnick, hu hu hu… ). Ketika hal-hal yang essensial dalam buku ini bisa
divisualisasikan dengan baik dalam sebuah film; maka itu cukup. Jangan
lupakan soundtracknya yang juga sangat membangun nuansa film ini. Secara
keseluruhan, jelas bukan film terbaik The Hunger Games, tapi tetap film
yang mampu menggerakan emosi penonton.
No comments:
Post a Comment