Friday, December 6, 2019

The Hunger Games: Mockingjay Part 2

Resensi Film: The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 (2015)

maxresdefault
Bukan film yang terbaik dari seri “The Hunger Games”, tetapi tetap punya daya tariknya tersendiri. Film “The Hunger Games” terakhir yang juga film paling lemah dari semuanya. Jika bukan penggemar yang mengikuti franchise ini, pastilah merasa bingung dan hambar. Namun bagi fans setianya, Part 2 ini merupakan salam perpisahan yang melegakan.
*SPOILER ALERT*
Setelah Part 1 ditutup dengan sangat mencengangkan, yaitu Peeta dicuci otak dan jadi ingin membunuh Katnis; Part 2 dilanjutkan dengan momen Peeta yang benar-benar sudah berubah 180 derajat. Katniss kali ini harus berjuang meyakinkan Distrik 2 untuk menyerah, karena Distrik 2 adalah pusat persenjataan Capitol. Setelah itu, pasukan pemberontak di bawah pimpinan Presiden Coin, sudah semakin kuat dan segera menyerang Capitol. Tetapi tidak semudah itu, karena Katniss semakin menyadari bahwa Presiden Coin tidak jauh beda dengan Presiden Snow. Jadi, siapa yang sedang bermain dan dipermainkan?
Kekuatan The Hunger Games memang ada pada cerita aslinya yang ditulis oleh Suzanne Collins. Filmnya sendiri mampu melengkapi apa yang ada di imajinasi pembaca.Meski sungguh disayangkan, sutradara Francis Lawrence terlalu bertele-tele pada momen-momen yang kurang penting, yang membuat durasi film 2 jam 16 menit terasa lama. Memang sih, penonton tidak keberatan untuk menyaksikan setting,properti, make-up dan kostum yang bagus; tetapi hal ini mengakibatkan alur ceritanya menjadi kurang greget. Justru kali ini, pusat cerita terlalu banyak berfokus pada dilema suara hati dan politik yang dialami Katniss. Seharusnya, lebih banyak waktu digunakan untuk menceritakan perjuangan skuadron menemani Katniss hingga ke Capitol; agar ketika banyak dari mereka yang terbunuh; penonton bisa lebih merasa kehilangan.
Untungnya, khas film The Hunger Games, selalu ada momen-momen mencengangkan dan diakhiri dengan dramatis. Jennifer Lawrence sekali lagi berhasil membawa suasana itu ditangkap oleh penonton. Akting lewat ekspresi mukanya sungguh luar biasa berkarakter. Josh Hutcherson juga berhasil tampil memukau, meski porsinya tidak terlalu banyak. Setidaknya chemistry mereka berdua tetap terasa kuat.
Pada akhirnya, sekali lagi, cerita lah yang menjadi kekuatan The Hunger Games; bagaimana Primrose — alasan kenapa Katniss bisa masuk di Hunger Games, demi menggantikan adiknya — tetap mati pada akhirnya.  Bagaimana perbedaan prinsip, tanpa perlu dibicarakan, mengakhiri hubungan antara Gale dengan Katniss; bagaimana presiden Snow & Katniss — musuh abadi  — justru menjalin satu pengertian atas hal yang sedang terjadi; serta betapa banyak orang yang sudah mati berkorban (Finnick, hu hu hu… ). Ketika hal-hal yang essensial dalam buku ini bisa divisualisasikan dengan baik dalam sebuah film; maka itu cukup. Jangan lupakan soundtracknya yang juga sangat membangun nuansa film ini. Secara keseluruhan, jelas bukan film terbaik The Hunger Games, tapi tetap film yang mampu menggerakan emosi penonton.

No comments:

Post a Comment