Wednesday, December 11, 2019

Seven Pounds

REVIEW: SEVEN POUNDS



















"In seven days, God created the world and in seven second, I shattered mine"

Seven Pounds mengisahkan tentang seorang insinyur pesawat ruang angkasa bernama Tim Thomas (Will Smith) yang memiliki kehidupan sempurna, mempunyai istri yang cantik dan sangat dicintainya, juga tinggal di sebuah rumah yang sangat indah di tepi pantai. Namun suatu ketika, karena menggunakan telepon seluler saat sedang berkendara, Tim dan sang istri mengalami kecelakaan hebat. Kecelakaan tersebut mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, termasuk istri Tim. Setelah kecelakaan itu Tim merasa sangat bersalah dan terbebani dalam hidupnya. Oleh karena itu ia merencanakan untuk mendonorkan organ" tubuhnya kepada 7 orang yang benar" membutuhkan, dengan tujuan agar mereka mendapatkan kehidupan baru. Tim pun mencuri identitas saudaranya, Ben Thomas, yang bekerja sebagai agen IRS (pajak). Dari data" di IRS akhirnya Tim berhasil menemukan calon" yang akan menerima donornya tersebut. Rencana ini berjalan tidak semulus yang ia kira, karena ditengah niatnya tersebut Tim malah jatuh cinta pada salah satu calon donornya yang bernama Emily Posa (Rosario Dawson), seorang wanita penderita gagal jantung akut. Seketika Tim berada dalam situasi yang sangat dilema. Alur cerita Seven Pounds termasuk sangat lambat, sedikit membingungkan di awal cerita. Namun menjelang pertengahan hingga akhir cerita barulah kita dapat memahami jalan cerita yang sebenarnya dan ikut terhanyut dalam haru. Melihat Will disini seperti kembali melihat penampilannya dalam The Pursuit of Happyness (2006), kurus, lemas, kumal. Sutradara dan kru Seven Pounds pun ternyata adalah orang" yang andil dalam The Pursuit of Happyness juga. Seven Pounds termasuk salah satu dari sekian banyak film yang memiliki ending yang kuat.

Vantage Point

Review film “vantage point”

Untuk memperoleh nilai tugas sinematografi materi apresiasi film,saya akan mereview film Vantage point. Film ini sudah ditonton oleh saya dan teman-teman sekitar 2 minggu yang lalu. Sebelum mengambil kesimpulan review dari saya telebih dahulu kita melihat simple reviewnya:
Nama film, tahun rilis : Vantage point,2008
Genre  : action
Sutradara  : Pete Travis
Produser  : Tania Landau,Ricardo Del Río
Penulis  : Barry Levy
Penyunting  : Stuart Baird,Sigvaldi J. Kárason,Valdís Óskarsdóttir
Distributor  : Sony Pictures
Vantage point berceritakan tentang seorang pesiden Amerika serikat yang berkunjung ke eropa untuk membentuk terobosan baru dalam perang terror yang sedang berlangsung. Cerita ini diambil oleh beberapa sudut pandangan orang dengan teknik flashback. Jadi setelah pengelihaan satu orang selesai kembali ke awal dengan sudut pandang orang yang berbeda.
Cerita pertama diambil sudut pandang Rex, seorang sutradara berita yang sedang menyiarkan secara live presiden ashton yang sedang berkunjung ke Eropa. Ketika sedang mengeshoot sang presiden naik keatas panggung,si presiden ditembak. Semua orang disitu panic dan berlarian kesana sini sedangkan pembawa acara,angie kaget dan tidak bisa berkata apa-apa.  Ditengah-tengahkepanikan itu bom yang tidak diketahui oleh sapapun dan terletak di bawah podium meledak . Rex kaget saat melihat Angie tidak bergerak.
Cerita kedua diambil sudut padang Thomas,dia seorang bodyguard yang melindungi presiden. Dia sangat berjaga-jaga agar presiden tidak diserang seperti tahun lalu. Tetapi ketika presiden menaiki podium,dia tertembak. Thomas langsung menyergap orang yang mencurigakan dan melihat video yang direkam oleh seorang amatiran. Dia melihatada bom yang dimasukan ke podium dan berteriak. Bom pun meledak dia segera berlari ke stasiun TV dekat situ untuk melihat rekaman dan menemukan sesuatu yang mengkagetkan .
Cerita ketiga diambil sudut pandang Erik,dia seorang polisi yang diperalat oleh  seorang wanita untuk membawakan bom. Setelah melihat presiden ditembak,ia berusaha memberitahu bahwa pelakunya juga melemparkan bom kebawah podium tetapi justru ditangkap kaena mencurigakan. Saat bom meledak dia kabur dan dikejar oleh polisi. Sampai disuatu tempat polisi kehilangan jejak Erik dan Erik ditempat itu dia bertemu seseorang.
Cerita keempat diambil sudut pandang Howard,seorang warga Amerika yang berlibur ke Eropa seorang diri. Dia dating dengan membawa kamera . Ketika presiden ditembak dia melihat pelakunya dibalik jendela dan merekamnya. Dia juga merekam orang yang memasukan bom. Setelah bom meledak,dia panic dan akhirnya ia mengikuti pengejaran polisi terhadap Erik dan merekamnya. Disuatu tempat Erik berhenti  ia melihat seorang anak perempuan yang ia tolong hampir ketabrak ia berlari untuk menolongnya.
Cerita kelima diambil sudut pandang presiden Ashton,ternyata dia bukanlah yang ditembak di podium. Yang ditembak di podium aalah seorang yang mirip dengan dirinya. Saat beriskusi tentang dirinya yang ditembak ada seseorang yang masuk dan menembak semua orang yang ada disitu dan menodong pistolnnya ke presiden.
Cerita kelima diambil sudut pandang orang-orang yang jahat ,yang ingin menembak presiden,cewek yang melempar bom,polisi yang berkhianat,sam yang mengatur semuanya.
Diakhir cerita ,kelima sudut pandang digabung dan diselesaikan ceritanya.
Menurut saya,semua akhir dari cerita beberapa sudut pandang itu membuat penasaran karena tidak terselesaikan.  Seperti saat Thomas melihat sesuatu di rekaman video,anak perempuan yang hampir tertabrak,Erik yang bericara pada seseorang,dan presiden yang mau tertembak. Bikin penasaran bukan? Tetapi diakhir cerita, semua penasaran itu terselesaikan dan ternyata semua cerita terhubung satu sama lainnya dan disitulah kerennya dari carita ini. Saya sengaja tidak menceritakan akhir dari cerita ini agar membuat semua pembaca penasaran untuk menonton film ini. Diakhir cerita merupakan klimaks action dari film ini. Ada tembak-tembakan,pengejaran mobil sampe mobilnya terjungkir balik dan lainnya. Sangat seru bukan? Bagi pecinta film action jangan melewatkan film ini.
Jika bercerita tentang pemain film ini sebenarnya semua pemain utama di film ini sudah berumur semua. Menurut saya,peran Thomas sangatlah berlebihan sebagai seorang bodyguard kenapa dia saja yang terlihat sibuk sekali  saat presiden menaiki podium dia melihat semua yang didekat presiden adalah musuh. Pemeran Howard  berakting sangat lebay/berlebihan dia berakting seakan dia sudah mau mati disitu atau kiamat tuh sudah mau terjadi. Dari semua pemain saya paling suka dengan para emain jahatnya sepeti Sam dan orang yang diperalat dengan menyandra adiknya (tidak tahu namanya. Keke). Terlihat sangat natural beraktingnya. Yang kerennya mereka juga berakting didalam film itu yaitu berpura-pura sebagai orang baik/tak bersalah. Keren bukan berakting jahat yang berakting baik?
Setiap shot dan scene dari dilm ini memang membuat orang terkesan dan berdebar-debar. Saya sangat memuji saat adegan kejar-kejaran karena disitu ada mobil ditabrak,mobil jungkir balik,tembak-tebakan dan lain-lain. Dalam scene pengejaran ini sutradara mengambil adegan dengan top shot jadi terlihat penjahatnya dan polisinya yang sedang berkejaran. Audio dari film ini juga sangat berpengaruh karena audio inilah yang membuat para penonton merasakan berdebar-debar,kaget,dan berteriak. Saya juga suka adegan terakhir dimana sumua adegan terhubungkan. Dalam adegan itu sutradara menge-slowdownkan scene dan mengambil long shot dari atas (top shot) lalu ke pemain-pemain yag ada disitu dari yeng jahat sedang bertengkar,ke Howards yang sedang menolong anak kecil,ibunya anak kecil yang kaget.  Editing dari film ini kurang saya suka karena filmnya jadi kelihatan tidak real. Contohnya saat bom meledak di podium asapnya terlihat buatan sekali dan helicopter di scene terakhir terlihat sekali buatan komputernya.
Bila ditanya apakah film ini dibuat berkali-kali atau satu kali dengan banyak kamera,saya akan menjawab dibuat berkali-kali. Kenapa ?  karena saya melihat ada perbedaan saat kejar-kejaran antara Erik dan polisi dalam sudut pandang Erik dengan sudut pandang Howards. Selain itu saya melihat perbedaan scene setelah bom meledak.
Kesimpulan dari film ini adalah tentang teroris yang  menginginkan perubahan tetapi tidak disetujukan oleh presiden sehingga melakukan pemberontakanan untuk menyakiti presiden. Disaat yang sama sang presiden sedang melakukan pertemuan untuk menuntaskan teroris. Adapun pesan moral dari film ini,sekeras apapun teroris dengan kejahatannya dan pengorbanannya untuk mati saat melaksanakan kejahatannya,tetap saja kebaikan,keberanian,dan kesetiaan dari seorang pelindunglah (polisi) yang menang.

Gridiron Gang

Sinopsis Lengkap Film Gridiron Gang (2006)

Gridiron Gang (2006)

Rilis
15 September 2006
Negara
Amerika Serikat
Bahasa
Inggris
Sutradara
Phil Joanou
Produser
Lee Stanley, Neal H. Moritz
Pemeran
Dwayne Johnson, Kevin Dunn, Xzibit, Leon Rippy
Sinematografi
Jeff Cutter
Music
Trevor Rabin
Distributor
Columbia Pictures.

Plot Gridiron Gang

Sean Porter (Dwayne Johnson) bekerja di Kilpatrick Detention Center. Porter frustrasi sebab tidak mampu membantu anak-anak menjauh dari masalah mereka dalam hidup saat mereka dibebaskan dari masa lalu kelam mereka yaitu  perdagangan narkoba dan geng jalanan. Dia memutuskan membuat tim Football.


Porter percaya Football akan mengajarkan para narapidana remaja apa yang diperlukan menjadi pemenang yang disiplin dan bertanggung jawab serta membentuk karekter mereka. Dia memilih beberapa anak di ruangan dan dia menyatakan ke tim barunya The Mustang Kilpatrick. Dua remaja tidak akur sebab mereka berasal dari geng yang saingan Willie Weathers dan Kelvin Owens.

Di pertandingan pertama melawan Barrington. Mereka mulai tertinggal, The Mustang mulai memenangkan permainan mereka mulai bekerja sama. Willie dan Kelvin berjabat tangan apda saat mereka memenangkan pertandingan dengan satu touchdown usai Kelvin membuat block besar untuk Willie. Menjelang akhir musimg, The Mustan ke babak playoff.

Mereka mendapati banyak publisitas dan bahkan lebih banyak penggemar. Salah satu dari geng 88 teman Willie, Free berhenti dekat lapangan. Dia menyadari Kelvin geng 95. Free dan Kelvin bertengkar, Free menembak Kevin di bahu. Free bersisap menembakkan juga ke kepala Kelvin, Willie berlari menuju arah Free menjatuhkan ke tanah menyelamatkan Kelvin.

Free terkejut ketika Willie membantu Kelvin bukan dirinya. Polisi datang sementara Free kabur. Dia menembaki petugas menanggapi atass penembakan yang mengakibatkan membunuhnya. Kelvin selamat namun tidak bisa bermain di final. Tim hampir dipaksa kehilangan permainan playoff sebab kekhawatiran mengenai kekerasan geng, namun bos Porter melangkah mencegahnya mengatur relawan dari departemen kepolisian tetangga untuk berpatroli di permainan.

Dalam pertandingan ulang melawann Barrington, Mustak tertinggal 14-0, Willie memberikan motivasi, dan mereka keluar untuk dapat mengalahkan Barrington di permainan terakhir. Terungkap mereka kehilangan pertandingan 17-14. Kemudian beberapa bulan berikutnya, metode Football Sean resmi dijadikan bagian dari program. Hampir semua mantan anggota The Mustang baik-baik saja dalam kehidupan baru mereka ketika mereka sudah keluar dari pusat penahanan.

Willie bermain Football di sekolah asrama teratas, Kelvin bermain Football untuk SMA Washington, Kenny Bates menuju sekolah dan tinggal bersama ibunya, Junior Palaita mendapati pekerjaan di perusahaan mebel, Leon Hayes bermain Football untuk Dorsey High, Donald Madlock dan Miguel Perez menuju ke geng lama mereka dan kini di penjara otoritas pemuda. Bug Wendal teas dalam penembakan. Hanya 5 pemain yang kembali menuju penjara. Film berakhir dimana kelompok baru pelatihan The Mustang untuk musim baru mereka.

Resident Evil: Afterlife

Resident Evil: Afterlife

Umbrella Corporation menjadi satu-satunya perusahaan yang bertanggung jawab penuh terhadap kehancuran dunia. Oleh karena penyebaran virus T, seluruh umat manusia berubah menjadi zombie, menyebabkan berhentinya peradaban manusia.
Di film ini, Alice (Milla Jovovic) kembali menyerbu Umbrella Corporation yang bersembunyi di bawah tanah. Bersama kloningannya, Alice berusaha menghancurkan perusahaan tersebut beserta dalangnya, Albert Wesker (Shawn Roberts). Namun, Wesker berhasil melarikan diri dan meledakkan markas Umbrella. Seluruh kloningan Alice terjebak di dalamnya, namun Alice berhasil menyelinap ke dalam pesawat yang sama dengan Wesker. Mereka terlibat perkelahian lalu Wesker menyuntikkan virus kepada Alice. Itu yang membuat Alice kembali menjadi manusia normal.
Enam bulan kemudian, Alice yang selamat dari perkelahian dengan Wesker melakukan pencarian manusia yang tersisa di sebuah daerah yang disebut Arcadia, Alaska, sebuah tempat yang dijanjikan sebagai tempat yang bebas dari virus. Namun, ia tidak menemukan siapa pun di tempat itu, kecuali teman lamanya, Claire Redfield (Ali Larter), yang mengalami amnesia. Bersama Claire, ia menuju Los Angeles untuk kembali mencari manusia yang masih tersisa.
Di Los Angeles, Alice dan Claire bertemu dengan beberapa manusia yang masih bertahan di sebuah gedung penjara, salah satunya adalah kakak Claire, Chris Redfield (Wentworth Miller). Mereka pun mengetahui bahwa Arcadia bukanlah sebuah pulau. Selain itu, mereka harus berusaha keluar dari gedung yang dikepung ribuan zombie. Apakah Alice berhasil membawa manusia yang tersisa keluar dari tempat itu dan memberikan mereka tempat yang benar-benar bebas dari virus? Apakah kali ini Alice bisa menghancurkan Umbrella Corporation?

Aksi dan Tampilan 3D yang Prima

Semua sekuel Resident Evil mengalami kesuksesan di bidang pendapatan. Ini dikarenakan penyuguhan aksi yang cukup prima. Bagaimana dari segi cerita? Bisa dikatakan biasa saja. Itulah yang terjadi di Resident Evil: Afterlife. Kelebihan film ini adalah efek 3D yang bekerja cukup prima di beberapa adegan yang menyajikan aksi. Efek 3D ini pun semakin terasa dengan penggunaan time freeze. Film ini juga mengalami pergeseran genre, dari film horor menjadi action. Kali ini, film ini menyajikan lebih banyak aksi daripada sound effect yang mengagetkan dan adegan yang membuat jantung berdebar.
Dilihat dari segi cerita, jika dibandingkan dengan film-film sebelumnya, Resident Evil Afterlife memiliki plot yang lebih gelap dan suram. Bahkan, ada beberapa adegan yang agak membingungkan karena tidak ada penjelasan mendalam mengenai adegan tersebut. Jika Anda tidak memainkan game-nya, Anda akan mengalami kebingungan dan bertanya-tanya sepanjang film. Penasaran dengan adegan-adegan tersebut? Saya tidak akan memberikan spoiler di sini. Silahkan tonton film ini dan berikanlah penilaian pribadi Anda!
Secara keseluruhan, film ini memiliki kelebihan dari segi aksi (walau tidak banyak seperti sekuel sebelumnya) dan efek 3D yang cukup memuaskan. Penyertaan 3D di film ini memberikan penonton sebuah pengalaman baru yang tidak mereka dapatkan di sekuel sebelumnya.

Tanggal rilis:

21 September 2010
Genre:

Action, thriller
Durasi:
97 menit
Sutradara:
Paul W.S. Anderson
Pemain :
Milla Jovovich, Ali Larter, Wentworth Miller, Shawn Roberts, Spencer Locke
Studio:
Constantin Film

The Covenant

Sinopsis Lengkap Film The Covenant (2006)

The Covenant (2006)

Rilis
8 September 2006
Negara
Amerika Serikat
Bahasa
Inggris
Sutradara
Renny Harlin
Produser
Tom Rosenburg, Gary Lucchesi
Pemeran
Steven Strait, Taylor Kitsch, Sebastian Stan, Toby Hemingway, Laura Ramsey, Jessica Lucas, Wendy Crewson, Chace Crawford
Sinematografi
Pierre Gill
Music
Tomandandy
Distributor
Screen Gems

Plot The Covenant 


Caleb, Reid, Pogue dan Tyler dikenal Sons of Ipswich keturunan keluarga penyihir kolonial memiliki kemampuan sihir yang pertama kali bermanifestasi di ulang tahun ke 13 dan tumbuh kuat hingga mereka di usia 18. Kekuasaan terkait dengan kehidupan mereka semakin banyak digunakan, semakin cepat usia mereka. Caleb bertemu Sarah siswa pindahan sekolah menengah di Boston. Anak-anak juga bertemu Chase Collins siswa baru di Spencer Academy.


Usai seorang siswa ditemukan mati secara misterius dekat kampus mereka, Caleb mencurigai Reid yang paling ceroboh dari para penyihir namun dia menyangkal penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang. Pogue melihat Darkling yaitu roh mati dan pertanda jahat. Sementara Caleb dan Sarah berhubungan semakin dekat. Selama lomba renang, Caleb memperhatikan Chase yang berteman dengan kelompok tersebut menampilkan penggunaan sihir.

Usai meneliti, Caleb menyimpulkan Chase berasal dari keluarga kelima yang diyakini telah lama punah, bahwa dia putra Goodwin 'Goody' Pope. Pogue mengetahui kekasihnya dianggap koma oleh mantra. Marah dia tergesa-gesa menantang Chase yang dengan cepat membawanya ke rumah sakit. Caleb mengunjungi Sarah hnaya jatuh dalam perangkap Chase. Chase mengungkapkan dia tidak mengetahui asal mula sihirnya, usai diadopsi. Setelah dia mendapati ayah kandungnya, dia mengetahui harga untuk Ascension namun sudah terlambat dan dia telah kecanduan menggunakan sihir.

Ayah biologisnya selanjutnya mentransfer kekuasaan terhadapya. Chase ingin memaksa penyihir Ascender lain mentransfer kekuasaan terhadapnya juga, dimulai dengan Caleb. Chase mengancam akan menyakiti keluarga dan teman-teman Caleb jika dia tidak mendapati apa yang diinginkannya. Caleb mengungkapkan kebenaran terhadap Sarah membawanya ke ayahnya, pria berusia 44 tahun dengan tubuh tua, kelelahan sebab penyalahgunaan sihir.

Sarah menyarankan salah satu dari 3 lainnya mentransfer kekuatan mereka ke Caleb sehingga dia bisa menyamai Chase, Caleb menolak menjelaskan hal itu akan membuat mereka kehilangan seluruh hidup mereka. Di ulang tahun Caleb yang ke 18, dia menemui Chase sendirian meminta Tyler dan Reid melindungi Sarah.

Chase dengan mudah menculik Sarah. Di gedung tua, Chase dan Caleb bertarung semenetara di rumah Evelyn ibu Caleb, memohon suaminya menyelamatkan Caleb. Dia mengorbankan dirinya sendiri mentransfer kekuatannya dari jarak jauh untuk putranya. Usai kekuatan ayahnya dimasukkan, Caleb memukul Chase yang menelannya dalam bola api. Sarah, Pogue, dan Kate terbangun terbebas dari kutukan mereka.

Beautiful Creatures

[Review] Beautiful Creatures (2013)

Ya ya ya, sudah seringkali kita lihat pengganti saga Twilight menghiasi layar lebar belakangan ini. Entah, sebagian besar gagal di box office dan kurang mendapat perhatian baik dari kalangan kritikus maupun penontonnya. Kali ini Hollywood mencoba untuk menggantungkan nasibnya pada Beautiful Creatures yang menawarkan premis tidak jauh berbeda tentang dua sejoli yang sedang jatuh cinta. Sudah barang tentu mereka berada di dunia berbeda. Manusia dan ya, di film ini mereka menyebutnya Caster, semacam penyihir yang mempunyai kekuatan sangat besar. Beautiful Creatures juga diadaptasi dari novel berjudul sama yang juga merupakan bagian pertama dari seri novel Caster Chronicles karya duo penulis asal Amerika Serikat, Kami Garcia dan Margareth Stohl. Saya memposisikan diri sebagai penonton yang netral kala menikmati film ini. Toh saya juga tidak begitu ngefans sekali dengan saga Twilight, jadi jikapun Beautiful Creatures dikatakan ikut-ikutan, tak ada alasan saya bagi saya untuk membenci filmnya. Hanya saja, mari kita lihat bagaimana eksekusinya.

Seorang manusia bernama Ethan Wate (Alden Ehrenreich) yang sekian lama telah bermimpi untuk bisa keluar dari kota tempat tinggalnya, Gatlin, Amerika Serikat yang dianggapnya begitu membosankan. Dia juga memimpikan sosok gadis misterius. Suatu hari, ketika di sekolahnya kedatangan murid baru, Lena Duchannes (Alice Englert) keponakan dari Macon Ravenwood (Jeremy Iron) yang konon menurut warga Gatlin adalah keluarga penyembah setan. Tentu saja rumor tersebut menyebabkan Lena sulit diterima oleh teman-temannya. Bahkan ketika Lena diejek, tanpa sengaja kaca-kaca di kelasnya pecah berantakan. Hal tersebut menyebabkan tanda tanya besar. Ethan yang merasa iba kemudian mulai menghibur Lena. Dan apa yang terjadi selanjutnya adalah kisah klise para remaja yang jatuh cinta. Ethan juga semakin menyadari ternyata gadis misterius yang selama ini ada di mimpinya adalah Lena. Hanya saja, Ethan tak menyadari bahwa Lena mempunyai segudang misteri dalam dirinya
Beautiful Creatures merupakan film yang mudah untuk dilupakan karena tidak ada satupun yang terlihat mengesankan. Lihat saja, narasi yang kelihatan dangkal tanpa ada penguatan karakter setiap tokoh membuat film ini berjalan terasa datar. Apa yang terjadi adalah separuh film ini berjalan tanpa konflik yang kuat. Pertama, penonton diantar untuk perkenalan masing-masing tokoh kemudian mulai berkembang ke latar belakang Lena dan selanjutnya akan bergumam, "Udah? Gitu doang?" Ya, sang sutradara, Richard LaGravenese terlalu bertele-tele dalam menyampaikan adegan ceritanya sehingga penonton merasa capek tanpa adanya klimaks yang mengobati. Satu hal yang mungkin mengundang daya tarik penonton adalah bagaimana sosok Caster mengeluarkan kekuatan magis-nya. Dan lagi-lagi, adegan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik oleh pembuat film, yang ada hanyalah adegan klise seperti film-film penyihir yang lain. Entah, saya tak bisa membayangkan bagaimana para fans novelnya menonton sajian yang tidak menyenangkan ini. Oh ya, mungkin beberapa kejutan di paruh akhir bisa sedikit menghibur.
Kalo menilik dari departemen cast, mungkin bagi saya semuanya terlihat wajah-wajah baru. Mungkin itu yang membuat saya sedikit tidak suka dengan peran Alden Ehrenreich. Saya seperti melihat robot yang berakting, benar-benar kosong tanpa adanya suatu persona yang kuat. Beruntung, Alice Englert dengan paras cantiknya membuat saya memaafkan perannya yang juga kurang begitu kuat. Hal tersebut membuat chemistry akan keduanya tidak ada. Sisanya juga tampil biasa-biasa saja, namun sedikit nilai tambah bagi Emmy Rossum yang maksimal dalam memberikan penampilan terbaiknya. Hanya saja, masih terbatas pada porsi penceritaan. Jadi menjawab pertanyaan di awal paragraf tadi, Secara keseluruhan, Beautiful Creatures adalah sebuah presentasi yang mmmmmm....yah tidak begitu bagus (bukan berarti saya membencinya, seperti yang saya bilang di awal tadi). Ditambah dengan banyak yang menyamakan dengan saga Twilight, sial memang. Mungkin para Caster tersebut harus benar-benar menyihir pembuat film agar mereka beruntung untuk dibuat versi sekuelnya.

The Fault in Our Stars

[Review] The Fault in Our Stars (2014)

Saya tak pernah lupa tanggal hari pertama sebuah film rilis di layar lebar. Berbekal ingatan yang cukup tajam itulah saya seringkali mengesampingkan kegiatan-kegiatan lain yang tak berhubungan dengan menonton film. Hari ini adalah hari pertama The Fault in Our Stars tayang, tentu setelah menyelesaikan kewajiban saya di kampus, saya siap menuju bioskop untuk menyantap film yang bergenre romantis tersebut. Ketika itu langit terlihat begitu gelap, menandakan betul bahwa tinggal menunggu waktu untuk semesta menyirami Bumi. Masa bodoh pikir saya, toh nanti di dalam teater pun juga tak terasa jika nanti akan turun hujan badai sekalipun.
Bahkan sampai film ini rilis, I didn't know anything about John Green. Penulis asal Amerika tersebut telah menelurkan beberapa karyanya dalam bentuk novel young-adult. Sudah barang tentu novel keenamnya yakni The Fault in Our Stars menjadi incaran studio raksasa Hollywood. Just like usual, kali ini sang sineas yang baru memulai debut layar lebarnya pada tahun 2012 lalu lewat Stuck in Love, Josh Boone memegang kendali penuh untuk menerjemahkan setiap halaman bahasa tulis dalam novel yang laris tak hanya dari segi penjualan namun juga dari pujian para pembacanya ini ke dalam bahasa visual. Pada umumnya, sebuah novel best-seller sudah pasti mempunyai fans-nya sendiri, mengingat hal tersebut cukup fatal sehingga bisa menjadi perhatian bagi pembuat film untuk tidak mengecewakan kalangan tersebut. Belakangan juga terlihat jelas bahwa film-film adaptasi dari ranah young-adult cukup menjual dan mampu menggandeng fans baru yang dalam hal ini belum membaca kisah aslinya yang dibukukan, but.. The Fault in Our Stars was still so adorable with simple premise.. tidak seperti koleganya dengan genre serupa yang menggantungkan pesonanya melalui mahkluk inhuman, sci-fi, fantasi, hingga dunia distopia. 

Yeah, premis yang disajikan dalam The Fault in Our Stars memang masih seputar cinta. Klise? Of course not. Ketika berbicara mengenai cinta, I'm pretty sure every people in this world pasti mempunyai makna sendiri mengenai hal penuh magis tersebut. Pun dengan film adaptasi karya John Green yang terbit tahun 2012 ini, melaluinya cinta dituturkan melalui sosok perempuan remaja cantik bernama Hazel Grace Lancaster (Shailene Woodley). Di usianya yang masih belia, putri semata mayang dari pasangan Michael Lancaster (Sam Trammel) dan Frannie Lancaster (Laura Dern) tersebut mengidap kanker di bagian paru-paru sehingga membuatnya harus selalu memakai alat bantu pernapasan. Tak lengkap dalam sebuah hubungan tanpa kehadiran sosok Mr. Right, untuk itulah John Green menciptakan karakter Augustus Waters (Ansel Elgort) yang ternyata mengidap tumor yang sampai sekarang masih mengerogoti tubuhnya, malangnya, dia juga kehilangan salah satu kakinya sehingga terpaksa memakai kaki palsu. I know I know, they're like impossible relationship. Tapi tentu saja jika menyangkut perkara cinta. Apapun itu, logika tak berlaku.


Sebagai orang yang terlalu percaya diri menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Cah Cinta, film-film bergenre romantis ini ibarat taman belakang rumah dimana saya seringkali bermain di area itu sampai-sampai saya hafal betul setiap elemen yang ada di dalamnya. Karena alasan itulah bagi saya sulit untuk tak jatuh hati dengan The Fault in Our Stars. Film yang karakter perempuannya mengingatkan saya kepada Jamie Sullivan di film A Walk to Remember ini memulainya dengan perlahan, rapi, dan penuh sarat emosi sehingga setiap fase dari perkenalan karakternya bisa melebur begitu mudah dengan penonton. Benar saja, menit demi menit berlalu penonton seakan dengan senang hati membukakan alam bawah sadarnya untuk dihipnotis jalinan cerita. To be honest, sedikit berlebihan jika harus menyebutkan bahwa The Fault in our Stars adalah film cengeng, tak ada sedikitpun elemen dramanya seperti dibuat-buat atau dipaksakan, semuanya teramu sempurna dalam suatu wadah yang dihiasi pemanis berupa iringan lagu yang mudah akrab di telinga terlebih dari Ed Sheeran (All of The Stars) dan Kodaline (All I Want).
Rasa-rasanya pujian paling tinggi patut disematkan pada dua karakter utama, Shailene Woodley dan Ansel Elgort. Sebuah chemistry layaknya 'ruh' bagi mereka, dan tak dipungkiri mereka berhasil saling menjaga 'ruh' tersebut. Artis yang digadang-gadang akan berperan sebagai Mary Jane dalam sekuel kedua The Amazing Spiderman ini dengan segala pesona luar biasanya mampu memperlihatkan sebagai sosok gadis penderita kanker yang tak butuh belas kasihan. Penonton dengan tulus merasa simpati, empati, dan kagum dalam waktu yang bersamaan. Bahkan Ansel Elgort yang namanya belom dikenal luas sejak kemunculannya sebagai karakter Caleb di Divergent juga mampu bersimbiosis mutualisme dengan Shailene Woodley. Mereka saling mengisi kekosongan sehingga tidak ada ruang-ruang kebosanan. Menonton mereka seperti ada perasaan sesak; sesak karena mereka hanyalah karakter fiktif, sesak karena mereka menunjukkan hal yang sulit ditunjukkan oleh orang normal, dan sesak karena hal-hal lain yang mungkin bersifat personal bagi penonton. Sekali lagi, dengan kejeniusan John Green melalui mereka cinta disampaikan dengan begitu indah, begitu pahit lewat dialog-dialog yang menyayat hati.
Hingga credit title bergulir, saya masih terdiam di kursi teater. Sejenak, otak memutar ulang pada sebuah adegan The Fault in Our Stars bagaimana pada menit-menit ketika konflik memuncak, dialog-dialog nan manis itu disenandungkan dan memperdengarkan kepada saya mengenai perasaan paling jujur seorang yang sedang jatuh hati. Tersentak saya bangkit dari lamunan dan melihat saya tinggal seorang diri dalam teater. Ah benar saja, di luar ternyata masih hujan, tidak terlalu deras memang tapi cukup bikin kuyup. Entah, tiba-tiba saya memutuskan untuk menerjang hujan, yah jika nanti tiba-tiba saya sesenggukan mengingat jalinan kisah tadi, orang-orang yang bertanya saya bisa berkilah, "Ah enggak ini cuman air hujan kok."