FORD V FERRARI Review
Meskipun judulnya mengusung persaingan antara dua perusahaan mobil balap, Ford v Ferrari garapan James Mangold
sebenarnya bercerita tentang dua orang yang tadinya sering beradu
argumen menjadi sahabat karena sama-sama cinta mobil dan balapan,
berjuang melawan politik citra perusahaan – dan masalah pribadi
masing-masing – dalam usaha mereka menciptakan keajaiban yakni mobil
balap tercepat dan tertangguh.
Walaupun kurang tertarik sama mobil, sama balapan, aku bahkan enggak
hapal nama-nama mobil biasa – apalagi mobil balap. Tapi aku tahu bahwa
balap mobil seperti Formula 1 bukan semata soal ‘privilege‘
punya mobil canggih atau teknologi yang mahal. Bukan pula sekadar
kehebatan orang di balik kemudinya. Melainkan sebuah strategi. Yang
melibatkan kerja sama tim yang melibatkan banyak orang. Memenangkan
sebuah balapan berarti kalkulasi taktis kapan harus ngegas, kapan harus
masuk pit stop untuk pengisian bahan bakar atau perbaikan teknis, sampai
ke kapan harus ‘menunggu’ rekan satu tim yang juga jadi lawan karena
dalam balapan biasanya satu perusahaan mobil memasang dua pembalap.
‘Lingkungan’ inilah yang dibahas dalam Ford v Ferrari. Ceritanya
menekankan kepada pentingnya tokoh-tokoh untuk bekerja dalam tim, dan
bagaimana dalam sebuah persaingan bukan musuh atau rival dari luar saja
yang perlu diperhatikan – melainkan juga lawan dari dalam. And as far as the racing goes,
film ini membelalakkan mataku lantaran balapan yang mereka ikuti lebih
besar daripada balap-balap yang aku tahu pake hitungan lap sebagai
finish. Le Mans yang jadi panggung kompetisi cerita ini adalah balapan
selama dua-puluh-empat jam nonstop!
Keajaiban yang terkandung dalam Ford v Ferrari tercatat dalam
sejarah, karena cerita film ini memang diangkat dari peristiwa dan
orang-orang nyata. Pertengahan 1960an bukan periode gemilang untuk
perusahaan mobil Amerika, Ford. Penjualan turun karena generasi muda
pengen produk yang lebih menantang. Jadi mereka punya ide untuk
berpartner dengan mobil balap terkemuka dari Itali, Ferrari. Penawaran
kerjasama mereka dianggap merendahkan oleh Ferrari, sehingga mereka
ditolak mentah-mentah. Demi harga diri, Ford mengerahkan kepercayaan
kepada produk asli Amerika untuk mengalahkan Ferrari dalam permainan
mereka sendiri; balapan. Enter Carroll Shelby, mantap pembalap yang actually pernah mengalahkan Ferrari di Le Mans beberapa tahun sebelumnya, kini bekerja sebagai manufacturer
mobil balap lokal. Shelby yang ditugaskan membuat Ford menang atas
Ferrari, memilih untuk mempercayakan kemudi kepada Ken Miles, veteran
Perang Dunia 2 yang merupakan seorang jenius mobil dan mesin yang
eksentrik. Shelby rela mengesampingkan perbedaannya dengan Miles karena
dia tahu Miles adalah orang yang tepat. Jadi mereka berdua mulai
mengerjakan proyek ini dengan segenap hati. Namun bagi Ford, ini bukan
sebatas siapa yang tercepat. Melainkan tetap soal citra perusahaan. Ford
bukan hanya ingin menang. Mereka menginginkan menang dengan
kondisi-kondisi tertentu; kondisi yang enggak exactly segaris lurus dengan kepentingan dan kepercayaan Shelby dan Miles.
Shelby dan Miles adalah pahlawan bagi dunia otomotif. Dan setelah
menyimak cerita film ini kita akan paham mengapa. Sangat mudah
merelasikan diri kepada kedua tokoh ini, walaupun kita gak ngerti
apa-apa tentang mobil ataupun balapan. Passion mereka terhadap dua hal tersebutlah yang begitu mengena. Ketika kita cinta mengerjakan satu hal, we’re doing good at it,
tapi kita merasa terhalang untuk melakukan yang kita cintai dengan cara
kita sendiri. Shelby dan, terutama Miles, mereka sungguh-sungguh
berskill dewa, tapi mereka tetap kesusahan mendapat sponsor – berjuang
mencari uang. Miles bahkan bersusah payah untuk menjadi pengemudi mobil
balap yang ia bantu rancang untuk Ford, hanya karena menurut Ford dia
bukan sosok ideal bagi ‘poster’ produk mereka. Bayangkan itu, mobil dan
balapan adalah satu-satunya yang mereka enjoy kerjakan, namun mereka
harus dapat ‘izin’ dulu untuk berbuat.
Ini bakal terasa dekat, karena hampir setiap bidang – setiap industri
– punya ‘batasan’ seperti demikian. Misalnya, filmmaker yang merasa
paling bahagia sedunia akhirat saat menggarap film, akan tetapi dia
tidak bisa membuat film yang benar-benar sesuai dengan keinginan karena
campur tangan studio atau ph yang menginginkan film tersebut laku, atau
menang festival, atau ‘ramah’ buat banyak lingkupan penonton. Dan tidak
bisa benar-benar melawan karena semua ini adalah teamwork, dan aksi yang
diambil akan selalu terefleksi pada rekam jejak di industri itu
sendiri. Ini menjadi pertarungan antara – bukan lagi antara kau dengan
saingan dari ph sebelah – melainkan antara egomu dengan passionmu dengan
tuntutan ‘bos’. Aku geram sendiri, setengah mati, melihat perlakuan
eksekutif Ford kepada Miles, he deserved much more than what he actually got, dan satu-satunya alasan kenapa dia masih mau di sana karena dia begitu cinta sama mobil dan apa yang ia lakukan. Dan satu-satunya
yang menahanku dari tidak manjat kursi dan menghujani wajah si Beebe di
layar dengan permen karet adalah momen kecil yang terjadi di antara
Miles dengan bos Ferrari.
Penghormatan dari musuh ketika kita kalah lebih berharga ketimbang jabat tangan dari teman ketika kita menang. Karena ketika orang yang secara terbuka ‘melawan’mu memberikan hormat, kita tahu itu tulus dan kita telah put up the good fight – sekalipun kalah, kita akan merasa menang. Namun ketulusan yang sama tidak bisa langsung terasa ketika mendapat selamat dari seorang teman. Karena dalam sebuah kompetisi, persaingan seringkali berasal dari dalam – the real struggle adalah mengendalikan ego dan kepentingan masing-masing untuk kemajuan bersama.
Mesin yang membuat film ini bekerja sesungguhnya adalah hubungan
antara Shelby dan Miles. Mereka pada awalnya gak bener-bener temenan,
lebih ke musuhan malah. Namun mereka berkembang menjadi lebih dari
sekadar rekan kerja karena punya mutual respek. Mereka saling
menghormati kemampuan masing-masing. Salah satu adegan paling
menyenangkan untuk disaksikan dalam film ini adalah ketika Shelby dan
Miles berantem di halaman seberang rumah Miles. Tentu saja penampilan
akting menambah banyak bobot dalam menghidupkan dua karakter ini. Matt Damon
benar-benar hebat memerankan Shelby sebagai protagonis yang bijaksana –
tokohnya ini seperti tempat pengaduan yang menenangkan jika kita punya
masalah – meskipun dia sendiri berjuang dengan keputusan yang ia ambil
sebagai kerjaannya yang sekarang. Christian Bale? maaan, orang ini bunglon atau apa sih.. apa badannya terbuat dari karet sebenarnya..? Baru tahun lalu dia gendut di Vice (2018)
dan sekarang dia hampir tak dapat dikenali – badannya jauh lebih kecil –
sebagai Ken Miles yang beraksen Inggris. Bale sungguh menyelam ke dalam
perannya. Total melebur ke dalam karakternya. Bale di sini memainkan
tokoh yang meledak-ledak, tapi mau mengalah demi keluarga, apapun supaya
dapat nafkah. Melihat dia harus menelan kebanggaan dan idealisme yang
dulu (bahkan masih berusaha) ia pertahankan, sebenarnya cukup nyelekit.
Kita peduli pada tokoh ini. Relasi Miles dengan putranya juga cukup
digali untuk menambah lapisan pada karakter dan bobo emosi pada cerita.
Miles adalah hero yang kita semua ingin dia mendapat keberhasilan.
Ketika kita sudah dapat protagonis dan hero yang memuaskan, film ini
terasa kurang nendang jika kita merujuk pada Dramatica Theory; main
character film ini mendua dan gak begitu masalah lagi di akhir. Ford,
sesuai judul, adalah topik utama, cerita bergerak dalam frame
kebijakan-kebijakan Ford. Di awal, perusahaan ini seperti underdog –
dibandingkan dengan Ferrari. Sepertinya mustahil Ford yang biasa membuat
mobil ‘rumahan’ mengalahkan Ferrari dalam balapan. Miles sempat
berkelakar butuh dua ratus tahun untuk mencapai hal tersebut. Kemudian,
film membuka, dan kita melihat Ford sebagai si jahat dan Miles sebagai
underdog yang harus berjuang melawan korporat seraksasa Ford. Dan terus
komit pada Ford sebagai evil korporat yang tak peduli pada kru,
pembalap, dan pekerjanya. Cerita memang tetap bekerja sesuai konteks,
tapi juga menurutku Ford di film ini jadi sedikit cartoonish.
Begitulah salah satu cara sutradara Mangold membuat cerita tetap intens. Dia mengarahkan biografi ini hampir seperti pure crowd-pleaser.
Dan ini bentrokan yang seru; jarang-jarang ada kisah nyata yang
berjalan seperti direka untuk kesenangan penonton. Mangold banyak
menggunakan wide shot untuk memastikan kita bisa mengikuti semua yang
terjadi di layar. Bahkan saat adegan balapan, dengan seringnya cut ke
wajah Bale yang udah mengemudi kayak pembalap kesetanan beneran, kita
masih mudah mengerti mobil mana di posisi berapa, dan tingkungan mana
yang membawa ancaman bahaya. In fact, begitu mobil dan pembuatannya,
hingga nanti adegan balapan, film ini melaju dengan ngebut sehingga
durasinya yang dua setengah jam tidak terasa. Hanya di awal-awal saja,
sepertiga film; ketika cerita masih dibebani oleh set up seputar
perusahaan, film terasa lambat.
Kalo film ini mobil, maka akselerasinya sedikit lambat, kurang
sempurna. Namun begitu film sudah mencapai titik steady, cerita
persahabatan dua orang yang berjuang di dalam perusahaan yang sedang
berkompetisi ini menjadi mengalir dengan lancar. Gak ada berhenti masuk
pit stop. Pengemudi-pengemudi cerita, alias para pemainnya, berakting
dengan luar biasa. Adegan balapannya seru dan terasa sangat berbobot
lantaran drama dan karakter tergarap dengan maksimal. Salah satu
biografi olahraga terbaik tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for FORD V FERRARI.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for FORD V FERRARI.
That’s all we have for now.
Pernahkah kalian ditempatkan di lingkungan kerja yang kalian rasa
hanya memanfaatkan dan tidak ada timbal balik? Yang rekan kalian cuma
sekelompok penjilat nyebelin kayak si Beebe?
Share your story with us in the comments
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
And there are losers.
No comments:
Post a Comment