SILENT HILL (2006)
Apabila kita berbicara tentang film
adaptasi, sah-sah saja bila mempertanyakan sejauh mana film tersebut
setia dengan media orisinilnya. Dalam kasus ini, kita berbicara mengenai
adaptasi video game, media adaptasi alternatif yang cukup
banyak dilirik oleh Hollywood selain komik dan novel. Sayangnya, banyak
yang hasilnya tidak sesuai dengan sumbernya sehingga ujung-ujungnya
dianggap gagal dan dicap buruk. Sebelum berbicara mengenai film Silent Hill, ada baiknya disinggung sedikit mengenai seperti apa versi video game-nya untuk mendapatkan gambaran mengenai persamaan maupun perbedaan dalam film adaptasinya.
Pada tahun 1999, Konami, sebuah perusahaan pengembang video game yang berpusat di Tokyo, Jepang, dan dikenal dengan beberapa seri permainannya seperti Contra, Metal Gear Solid, Castlevania, Suikoden, dan Winning Eleven, merilis game survival horror yang berjudul Silent Hill, dan dibuat pertama kalinya untuk konsol Sony PlayStation. Di saat para gamer masih terbuai dengan dua seri Resident Evil buatan Capcom tiga tahun sebelumnya, kehadiran Silent Hill seperti memberikan nafas baru kepada dunia game survival horror dengan paduan antara gaya penceritaan yang aneh, grafik yang disturbing, atmosfer horor yang luar biasa mengerikan, pemilihan selera musik yang unik dan emosional, sekaligus mengajak para gamer untuk ikut berpikir keras dengan melibatkan begitu banyak teka-teki yang harus dipecahkan bila ingin menyelesaikan game-nya. Game yang diakui terinspirasi dari film Jacob’s Ladder (1990) ini mendapat respon yang sangat baik, sehingga sampai saat ini menelurkan begitu banyak sekuel, spin-off, grafik novel, bahkan sampai film adaptasinya sendiri.
Untuk versi adaptasinya, film ini
bercerita tentang Rose Da Silva (Radha Mitchell), seorang ibu yang
berniat membawa Sharon (Jodelle Ferland), anak perempuan adopsinya ke
sebuah tempat bernama Silent Hill, dikarenakan Sharon kerap kali
mengigau dengan menyebut-nyebut Silent Hill. Dalam perjalanan, Rose dan
Sharon mengalami kecelakaan gara-gara bayangan sosok anak kecil yang
tiba-tiba melintas di tengah jalan. Hal ini menyebabkan mobil yang
dikendarai Rose mogok, tepat tidak jauh dari lokasi Silent Hill.
Celakanya, Sharon tidak diketahui keberadaannya, sehingga membuat Rose
nekat untuk menyusul langsung ke Silent Hill meski ia sendiri juga tidak
yakin Sharon dimana. Di kota berkabut inilah Rose menghadapi hal-hal
gaib yang tak pernah terpikirkan sebelumnya dan menjelma menjadi mimpi
buruk yang mengerikan. Demi menemukan anaknya, Rose terus menelusuri
Silent Hill dengan mengandalkan insting seorang ibu sambil membongkar
rahasia dibalik gelapnya kota tak berpenuhi, Silent Hill.
Sutradara Crying Freeman (1995) dan Brotherhood of the Wolf
(2001), Christophe Gans, tertarik untuk membuat film adaptasinya dan
membutuhkan waktu lima tahun untuk meyakinkan para petinggi-petinggi
Konami dengan presentasi video interview-nya agar memperoleh
hak untuk mengadaptasi filmnya. Keterlibatan langsung anggota tim Konami
yang bertanggung jawab atas pengembangan seri Silent Hill
dalam masa produksi, khususnya sang komposer musik Akira Yamaoka
ternyata tidak percuma. Seluruh aliran cerita yang ada berhasil
diselimuti oleh atmosfer angker yang mirip dengan versi orisinilnya.
Sebagai nilai tambah, Gans sendiri ternyata adalah penggemar seri Silent Hill dan memang memainkan game-nya di sela-sela syuting, selain bertujuan untuk menunjukkan langsung kepada para pemain dan kru elemen-elemen apa saja dari game-nya yang ingin dimasukkan.
Khas film-film adaptasi, perubahan demi
perubahan juga diterapkan demi penyesuaian. Salah satu contohnya yang
sangat signifikan adalah pergantian tokoh protagonis game-nya;
Harry Mason yang asalnya pria, diubah menjadi seorang wanita bernama
Rose Da Silva. Ini diperkuat dengan alasan Gans bahwa Harry lebih cocok
digambarkan sebagai sosok wanita yang berperan sebagai seorang ibu
ketimbang pria. Begitu juga dengan nama Sharon yang asalnya adalah
Cheryl, lalu karakter Christopher Da Silva yang diperankan oleh aktor
Sean Bean dan merupakan suami Rose sekaligus ayah angkat dari Sharon
juga merupakan tambahan dikarenakan pada naskah awalnya film ini hanya
terdiri dari karakter-karakter sentral wanita, sehingga Gans memutuskan
untuk menambahkan karakter pria ke dalam naskahnya. Menariknya, beberapa
elemen perubahan yang dilakukan Gans di sini justru malah mengilhami
kreasi seri Silent Hill berikutnya, yakni Silent Hill: Homecoming
yang rilis untuk PC, PS3, dan Xbox 360 dua tahun setelah perilisin
filmnya. Contohnya: simbol-simbol gereja, wujud para suster dan
perubahan dari dunia nyata ke mimpi buruk menjadi real-time yang dibuat mirip dengan versi filmnya, atau kemunculan Colin the Janitor yang nantinya turut menginspirasi monster Caliban di Silent Hill: Origins.
Silent Hill bagi sebagian besar
kalangan penggemarnya bisa dikatakan sebagai satu-satunya adaptasi yang
paling mendekati dengan versi orisinilnya. Khususnya dilihat dari segi
visualisasi yang memang terbilang berhasil membawa atmosfer dari versi game-nya. Silent Hill pun mendapat rating R, dikarenakan sajian visualnya yang cukup disturbing dan berdarah-darah. Para monster seperti Pyramid Head, Nurse, Grey Children, Creeper, Armless Man
tak ketinggalan kebagian peran kecil di layar dan terkena penyesuaian
mulai dari nama sampai bentuknya. Selain menggunakan CGI, Gans juga
memakai penari sungguhan agar gerakannya terlihat luwes untuk
menciptakan gerakan-gerakan yang disturbing.
Dan, rasanya kurang adil bila review ini hanya mengambil sudut pandang para gamer dan penggemar Silent Hill. Karena jelas Silent Hill
memang belum termasuk sempurna, yang sayangnya dari segi pengeksekusian
adegan serta detil cerita sangat rentan kritik, terutama dari kalangan
para kritikus dan penonton yang bukan gamer. Pasalnya, tanpa embel-embel ‘based on video game’, Silent Hill
tak ubahnya seperti film horor standar dengan segala
kejanggalan-kejanggalannya yang tidak terjelaskan. Durasinya yang
mencapai 2 jam lebih pun untuk ukuran film adaptasi game terasa terlalu lama. Para pemainnya pun terlihat biasa-biasa saja, meski tidak terlalu buruk.
Namun sekali lagi, Silent Hill
adalah salah satu contoh adaptasi langka yang setidaknya berhasil
memuaskan para penggemarnya dengan kesanggupannya membawa semua atmosfer
dari game-nya melebur ke versi filmnya. Gans tak hanya mentah-mentah mengadaptasi game pertama Silent Hill, tapi ia mencampur adukkan segala elemen mulai dari Silent Hill, Silent Hill 2, sampai Silent Hill 3 menjadi satu suguhan yang sedikit berbeda dari segi cerita dan karakter, namun unsur game-nya tetap terasa kental.
Para penggemar tentu sangat menantikan kehadiran sekuelnya, Silent Hill: Revelation 3D yang rencananya rilis tahun 2012, yang kabarnya akan memfokuskan pada jalinan cerita Silent Hill 3 dengan karakter sentral, Heather Mason. Heather dalam versi game sebenarnya adalah Cheryl sendiri yang telah diubah menjadi Sharon dalam filmnya.
No comments:
Post a Comment