Missing Link Review: Bukti Menurunnya Minat Film Animasi Stop-Motion?
Nama-nama seperti Walt Disney Studio Animation, Pixar dan Dreamworks
memang sudah tidak asing lagi bagi para penggemar film animasi. Namun,
tahukah anda dengan studio animasi asal Amerika bernama Laika? Berbeda
dengan studio animasi yang disebutkan diatas, Laika membangun sebuah
ciri khas serta identitas uniknya tersendiri. Laika adalah sebuah studio
animasi yang berfokus pada tekhnik animasi stop-motion. Sejak pertama
kali berdiri di tahun 2005, Laika sudah memiliki banyak portfolio film
animasi stop-motion dengan kualitas yang begitu luar biasa. Berbagai
judul animasi sukses buatan Laika
antara lain adalah Coraline (2009), ParaNorman (2012), The Boxtrolls
(2014) dan yang paling terakhir adalah Kubo and the Two Strings (2016).
Film hasil studio animasi Laika bahkan sudah menjadi langganan sebagai
nominasi film terbaik di piala Oscar. Tahun ini, Laika kembali
memproduksi film animasi stop-motion terbarunya yang berjudul Missing
Link.
Berbeda dengan film animasi Laika sebelumnya, Missing Link mengambil tone yang bisa dibilang lebih ringan dan fun. Missing Link
bercerita tentang seorang petualang bernama Sir Lionel Frost yang harus
mengantar seekor Bigfoot dari Amerika menuju Himalaya untuk mencari
saudara jauhnya sang Yeti. Yang membuat cerita menjadi menarik tentunya
adalah sosok sang bigfoot bernama Susan atau biasa dipanggil juga Mr.
Link. Berbeda dengan ekspektasi manusia mengenai Bigfoot, Bigfoot
ternyata merupakan makhluk dengan intelejensi tinggi yang tidak kalah
dengan manusia. Susan dapat berbicara, berperilaku dan beraksi layaknya
manusia. Perjalanan mereka juga tidak berjalan dengan mulus karena Lord
Piggot-Dunceby seorang petualang yang menyangkal keberadaan Bigfoot
berusaha mencegah misi Sir Lionel Frost dalam membuktikan keberadaan
Bigfoot. Sambil diburu oleh pemburu bayaran Willard Strenk, petualangan
Sir Lionel dan Susan menjadi perjalanan roller coaster yang cukup
menarik untuk diikuti.
Selain berfokus pada kisah Susan, Missing Link juga mengambil banyak fokus pada Sir Lionel Frost. Dari opening scene di film
ini penonton sudah dapat melihat dengan jelas kemampuan Sir Lionel
Frost sebagai seorang petualang ahli. Dengan mudah Sir Lionel Frost
menangani dan menjalin hubungan dengan makhluk legenda. Namun, ada satu
masalah serta kekurangan dari Sir Lionel Frost yaitu kesulitannya dalam
menjalin hubungan dengan manusia lain. Sir Lionel Frost digambarkan
sebagai seorang egosentrik yang perfeksionis dan workaholic. Sebetulnya
Sir Lionel menginginkan hubungan dengan orang lain dan ia sadar pada hal
tersebut namun ia tidak bisa merubah dirinya sendiri. Hal ini
sebetulnya bisa dibilang sebagai sebuah ironi yang cukup menyedihkan.
Demi mendapatkan pengakuan dan masuk ke dalam sebuah komunitas
petualang, Sir Lionel harus membuktikan keberadaan Bigfoot yang menjadi
pemicu petualangan serunya dengan Susan.
Tema yang diangkat pada film ini sebetulnya berbicara menganai
‘rumah.’ Rumah bukan dalam artian tempat fisik tetapi sebuah tempat
dimana kita merasa nyaman, sesuai, dan dikelilingi oleh orang yang
tepat. Kedua karakter utama, Sir Lionel dan Susan sama-sama berada di
dalam dilemma tersebut yaitu berusaha mencari sebuah ‘rumah’ agar keluar
dari kesendirian dan rasa kesepian. Sir Lionel berusaha menjadikan
komunitas petualang sebagai rumahnya, sedangkan Susan berusaha
menjadikan Himalaya sebagai rumah barunya dengan harapan dikelilingi
oleh saudara jauhnya sang yeti. Sayangnya, keduanya sepertinya sama-sama
mencari rumah di tempat yang salah. Berusaha mendapat pengakuan dari
komunitas petualangan sepertinya menjadi cara yang salah untuk
mendapatkan sebuah ‘rumah’ bagi Sir Lionel. Salah dalam artian bahwa
sebuah ‘rumah’ seharusnya tidak perlu memiliki sebuah pembuktian dan
melihat anggota komunitas petualang tersebut yang sebenarnya tidak
memiliki kepedulian terhadap Sir Lionel. Sedangkan, diluar dari
ekspektasi dari Susan, para Yeti di Himalaya ternyata bersikap ‘rasis’
kepadanya bahkan tidak menganggapnya sebagai saudara. Tema ‘rumah’ yang
diangkat ini menjadi tema yang potensial karena cukup menarik, terasa
dekat dan relatable.
Sayangnya, Missing Link sepertinya menjadi usaha Laika untuk bermain
aman dalam memproduksi sebuah cerita yang laku untuk penonton. Jika
dibandingkan dengan film dari studio animasi Laika sebelumnya bisa
dibilang Missing Link merupakan film paling ringan, sederhana dan paling
berwarna. Cerita yang diberikan pada film ini terasa begitu generik,
umum dan terkadang terasa membosankan. Tidak ada target audience khusus
dan jelas bagi film ini, sekilas dari segi visual Missing Link
sepertinya ditujukan bagi anak-anak tetapi ada beberapa bagian humor
yang sepertinya lebih cocok bagi orang dewasa.
Selain Sir Lionel dan Susan, tidak ada karakter lain yang menonjol
sehingga membuat film ini terasa begitu datar dan monoton. Karakter
pendukung seperti Adelina, Lord Piggot-Dubency dan Williard Stenk sama
sekali tidak menonjol. Adelina hanya berperan sebagai mentor atau guru
yang berusaha membuat Sir Lionel sadar dan berubah. Sedangkan Lord
Piggot dan Williard hanya sebagai karakter antagonist umum yang sering
ditemukan pada film lainnya. Penggunaan eksposisi dan dialog secara
tidak smart yang terus berulang dilakukan oleh Adelina untuk merubah Sir
Lionel juga membuang potensi storytelling yang seharusnya dapat menjadi
menarik.
Jika melihat dari segi visual, studio animasi Laika tidak bisa
diragukan lagi. Laika memang berhasil menyempurnakan teknik stop-motion
sehingga terlihat begitu mulus dan indah. Visual yang dihasilkan
terlihat begitu indah seperti olahan digital padahal mayoritas visual
yang kita lihat merupakan puppet atau environment buatan yang disusun
secara perlahan oleh manusia. Saking sempurnanya bahkan penonton sempat
beberapa kali lupa bahwa Laika merupakan sebuah film stop-motion bukan
3D animation. Kesempurnaan ini juga harus dibayar mahal karena banyak
penggemar film yang salah sangka dan mengira bahwa Missing Link
merupakan animasi 3D murahan padahal merupakan sebuah film stop-motion
dengan tekhnik yang sudah disempurnakan.
Missing Link juga dibintangi oleh aktor papan atas yang sudah tidak
asing lagi seperti Hugh Jackman sebagai pengisi suara Sir Lionel, Zach
Galifianakis pengisi suara Susan dan Zoe Saldana sebagai pengisi suara
Adelina. Seharusnya dengan kombinasi bintang papan atas dengan studio
animasi fenomenal Laika dapat menghasilkan sebuah produk akhir yang luar
biasa. Missing Link menjadi film dengan penghasilan terburuk studio
Laika sejauh ini, bahkan Missing Link menjadi film dengan pembukaan
terburuk sepanjang masa di peringkat keduabelas. Terlalu berusaha
bermain aman sepertinya menjadi kesalahan utama di film ini. Proyek
Laika sebelumnya berani mengambil resiko dan sukses membangun sebuah
cerita original yang terasa spesial karena berbeda dengan yang lainnya.
Atau sebetulnya kita dapat melihat bahwa kegagalan Missing Link
merupakan sebuah bukti dari berkurangnya minat penonton pada film
animasi stop-motion? Bukan merupakan sebuah film yang buruk tetapi
Missing Link menjadi film animasi yang biasa saja. Menarik melihat
bagaimana langkah berikutnya dari Studio Laika setelah kegagalan dari
film Missing Link.
No comments:
Post a Comment