Review: Johnny English Reborn
Tak akan ada asap bila tak ada api, jika
tidak karena film pertama untung, sekuel pun mungkin tidak akan
terjadi. Dengan bujet $40 juta , “Johnny English” sanggup mengeruk
keuntungan berlipat-lipat hingga mengumpulkan pundi-pundi dolar, $160
juta. Nama Rowan Atkinson terbukti memang sukses menjual film ini, semua
orang tampaknya cinta dengan Mr.Bean. Perannya sebagai Mr.Bean begitu
melekat pada diri seorang Rowan Atkinson, tidaklah heran, walaupun “dipaksa” untuk merubah image
sebagai super-spy dalam film “Johnny English” dan sekuelnya yang kali
ini diberi embel-embel tambahan “Reborn”, topengnya sebagai Mr.Bean
seperti sulit dilepaskan, kita selalu akan melihat Atkinson sebagai pria
“lugu” yang mempunyai mobil mini cooper tersebut. Untuk urusan membuat
penonton tertawa, Atkinson adalah orangnya, dia jagonya, aktor serba
bisa, disuruh berlakon serius pun Atkinson mampu membawakannya dengan
baik. Dalam “Johnny English Reborn” kita bisa melihat dua sisi seorang
Mr.Bean, eh maksud saya Atkinson, di film ini dia tak hanya “wajib” lucu
tapi juga di beberapa bagian tampil serius, tapi ujung-ujungnya hanya
direspon oleh gelak tawa penonton.
Johnny English sedang galau
karena misi sebelumnya yang berubah menjadi bencana, dia pun
mengasingkan diri ke Tibet untuk mempelajari beladiri sekaligus
menenangkan batinnya (serius sekali). Sedangkan di belahan dunia lain
penjahat-penjahat internasional yang terdiri dari pembunuh profesional
sedang melancarkan aksinya untuk membunuh perdana menteri China dan
menyulut kekacauan global. Johnny English pun dipanggil kembali oleh MI7
untuk sebuah misi baru menghentikan gerombolan penjahat yang akan
mengganggu kedamaian dunia. Pamela “Pegasus” Thornton (Gillian
Anderson), bos di MI7 pun mentandemkan English dengan seorang agen
junior, Tucker (Daniel Kaluuya), mereka langsung bergerak cepat menuju
Hongkong untuk menemui seorang informan. Belum apa-apa English sudah
memperlihatkan keahliannya sebagai agen yang culun, karena salah
mengenali informan yang dia cari, tapi didepan Tucker walaupun berbuat
salah, English tetap ingin terlihat benar. Tentu saja saya sebagai
penonton tidak ingin si agen rahasia Johnny English ini untuk menjadi
film yang serius, dan film ini melakukan apa yang memang diinginkan
penontonnya.
Tidak perlu memikirkan terlalu serius
jika “Johnny English Reborn” punya cerita yang sepertinya hasil comot
sana dan comot sini, usang, dan sudah pernah dipertontonkan berkali-kali
oleh film-film bertema agen rahasia sebelumnya. Disutradarai oleh
Oliver Parker, film ini toh memang tidak akan membiarkan penontonnya
untuk serius sejak awal kita duduk di dalam bioskop. Nikmati saja setiap
misi demi misi konyol yang diemban English untuk mengocok perut kita,
serius itu yang saya lakukan, tidak peduli jika pada akhirnya cerita
akan mudah ditebak, corny, ataupun segala macam hujatan yang membuat kritikus tampak cool karena mengejek-ngejek film ini. Well yang
diperlukan hanya duduk manis, maka Johnny English pun akan melakukan
yang terbaik untuk melepaskan stress dan membuat rahang kita sakit
karena terlalu banyak tertawa, bahkan ada satu momen dimana Atkinson
sukses membuat saya jumpalitan tertawa hingga mengeluarkan air
mata (serius). Saya tidak akan mengatakan bagian paling lucu tersebut,
tapi saya bisa katakan ini, sekuel ini lebih lucu dari film pertama dan
tidak berlebihan.
Walaupun sudah dalam balutan “kostum”
agen rahasia, Atkinson memang tidak terlepas dari bayang-bayang Mr.Bean,
sesekali kita akan melihat sosok Bean dalam diri seorang Johnny
English, gerakan-gerakan konyol ala Bean akan hadir disini, tidak banyak
tapi cukup untuk membuat saya bilang “Mr.Bean banget…” (sambil
tertawa). Agar semakin terlihat membodohi diri sendiri, English punya
rekan yang lebih pintar, agen Tucker –lah yang nantinya bertanggung
jawab menjadi penopang segala kelucuan dan kebodohan English, yang
merasa sok pintar dan sok senior. Daniel Kaluuya ini jika dipikir-pikir
lagi sekilas akan tampak seperti versi “halus” dari aktor Chris Tucker,
yang kita kenal sebagai James Carter di seri “Rush Hour” bersama Jackie
Chan. Sebenarnya “Johnny English Reborn” punya banyak karakter lain,
termasuk Pegasus, pimpinan MI7, yang dilakonkan oleh Gillian Anderson
(agen Scully di serial X-Files). Namun karakter-karakter tersebut
ditempatkan hanya untuk “hilir mudik”, karena fokus film ini tentu ingin
menonjolkan karakter English dan sebanyak-banyaknya memberikan porsi
pada Atkinson untuk lebih “badut” dari badut. Jadi apakah ada karakter
lain yang menyita perhatian dalam film ini? Yup ada, “The Killer
Cleaner” (Pik-Sen Lim), seorang nenek yang berstatus pembunuh bayaran,
lupakan Cataleya dan Evelyn Salt, mereka tidak ada apa-apanya.
“Johnny English Reborn” punya keseruan
ala film-film James Bond, dalam soal aksi-aksi agen rahasia-nya,
walaupun tidak terlalu serius dan tidak banyak mengumbar visual efek.
Satu-satunya efek yang terasa dahsyat disini hanyalah efek menggelitik
yang datangnya dari lawakan-lawakan Atkinson. Beberapa komedi memang
tampak usang tapi Atkinson mampu memolesnya untuk tetap lucu, alhasil
saya terhibur dari awal hingga akhir film. Didukung dengan para pemain
yang cukup mendukung dan cerita yang ringan, Johnny English Reborn pun
bergulir dengan asyik, nyaman untuk diikuti, dan sama sekali tidak
membosankan. Kita tahu ini film komedi, tapi Oliver Parker tahu kapan
harus melawak dan menempatkan serangkaian kebodohan Johnny English, agar
nantinya tidak terkesan berlebihan bagi penonton. Ketika waktunya untuk
serius, Oliver pun tetap mampu untuk menjaga mood penontonnya, terlalu
lama serius pun tidak baik, setidaknya momen serius ini dipakai oleh
saya untuk mengistirahatkan rahang yang sudah capek tertawa. Melihat kelucuan Rowan Atkinson saya jadi rindu dengan film-film Mr.Bean, biasanya saya geli jika
mendengar kata sekuel kedua, tapi pengecualian untuk seri Johnny
English, bolehlah kalau mau diteruskan ke film ketiga, kita butuh film
aksi bodoh seperti ini.
No comments:
Post a Comment