Thursday, November 21, 2019

A Cinderella Story If the Shoe Fits

[Ulasan Film] A Cinderella Story: If the Shoe Fits


 
Sudah beberapa film Cinderella kontemporer yang kutonton. Semuanya menawarkan sesuatu yang berbeda. Namun, entah, ya, rasanya A Cinderella Story: If the Shoe Fits ini paling unik. Bercerita tentang Tessa yang, yah, disuruh bantu-bantu ibu dan dua saudara tirinya. Juga waktu saudaranya mengikuti audisi pencarian bakat pemilihan pemeran drama Cinderella. Itu salah satu keunikannya. Film ini benar-benar menyajikan Cinderella (lewat drama). Bagian Ella dan pangeran “berdansa” (di sini tari modern) adalah waktu Tessa—menyamar jadi Bella Snow—tampil di audisi dan kemudian kehilangan sepatunya.
Keunikan lain yang menonjol adalah film ini musikal. Beberapa film sebelumnya memang memiliki Cinderella versi penyanyi, tapi kali ini sungguh musikal. Jenis seperti High School Musical, Camp Rock 2, dan Teen Beach. Benar, yang tiba-tiba saja sekelompok orang bernyanyi dan menari kompak seolah mereka sudah berlatih dahulu (walaupun adegan itu diawali dengan tokoh utama yang menari solo). Tapi, lagu-lagu di sini bagus. Enak didengar, lirik menawan, mudah diikuti, dibawakan dengan baik pula. Gerakan tarinya juga ciamik walaupun tidak berteknik macam-macam. Enak dilihat, terutama Ella dan Charming (alias Tessa/Bella dan Reed alias Sofia Carson dan Thomas Law).
Hal baru lain yang ditawarkan adalah tokoh Upik Abu kita bisa mengutak-atik motor. Ini mengingatkan pada Cinder si Mekanik dari The Lunar Chronicles karangan Marissa Meyer. ((Lalu mengingatkan pada Kai, lalu pada Wolf, lalu pada Jacin, lalu pada Thorne.... Oh, oke.))
Selain itu, “ibu peri” di sini adalah seorang makeup artist; Georgie. Dia mendandani Tessa menjadi Bella. Memang, sekadar memberi lipgloss berwarna; tahi lalat di pipi kanan atas; lensa kontak biru; rambut palsu pirang berponi. Itu tidak cukup “menutupi” Tessa, sebetulnya. Seharusnya ibu dan saudara tirinya sadar. Namun, ya, film ini mengabaikan itu.
Lucunya juga, Tessa sempat harus bolak-balik ruang ganti bertemu Georgie karena dia harus menjadi Tessa yang bersama Reed membetulkan motor (kelak digunakan di drama sebagai kereta labu), juga pada saat yang sama menjadi Bella berlatih drama.
“Don’t know why I run
Don’t know why I hide
Never let them know
What I feel inside”
Beruntung, Reed tidak jatuh cinta pada Bella, tapi pada Tessa.
Jadi, ini soal apakah Tessa berani mengejar mimpinya. Sekaligus apakah dia berani menunjukkan diri.
Soal Reed yang jatuh hati.... Terasa kurang, sih. Seperti “Kok, tiba-tiba suka? Bagaimana bisa? Kelihatan terlalu cepat dan tak jelas.”.
Tapi, chemistry Law dan Carson waktu menyanyi ada, sih. Waktu menari juga enak lihatnya. ((oke, waktu akting biasa juga lumayan oke))
“Like a bird
Free to fly
Spread my wings and fly my life
Like a bird
Up so high out of the cage
It’s my time to shine”
Dalam genre komedi, film ini cukup berhasil. Bagian-bagian lucunya alami. Ada pula tokoh yang dengan hanya melihatnya muncul di layar sudah langsung membuat tertawa (yang berperan jadi ibu peri dalam drama).
Jika ada film Cinderella kontemporer baru, apakah aku akan tak menontonnya?
Mungkin. Tapi yang jelas, pasti kupertimbangkan. Karena, film-film ini tampaknya mampu menawarkan hal baru dan unik dalam cara mereka sendiri.
Penginnya, sih, lebih banyak film kontemporer dari dongeng klasik lain. Setahuku ada satu film Snow White. Apakah kau tahu ada yang lain? Tell me, ya.

No comments:

Post a Comment