[Ulasan Film] A Cinderella Story: If the Shoe Fits
Sudah beberapa film Cinderella
kontemporer yang kutonton. Semuanya menawarkan sesuatu yang berbeda. Namun,
entah, ya, rasanya A Cinderella Story: If
the Shoe Fits ini paling unik. Bercerita tentang Tessa yang, yah, disuruh
bantu-bantu ibu dan dua saudara tirinya. Juga waktu saudaranya mengikuti audisi
pencarian bakat pemilihan pemeran drama Cinderella. Itu salah satu keunikannya.
Film ini benar-benar menyajikan Cinderella (lewat drama). Bagian Ella dan
pangeran “berdansa” (di sini tari modern) adalah waktu Tessa—menyamar jadi
Bella Snow—tampil di audisi dan kemudian kehilangan sepatunya.
Keunikan lain yang menonjol
adalah film ini musikal. Beberapa film sebelumnya memang memiliki Cinderella
versi penyanyi, tapi kali ini sungguh musikal. Jenis seperti High School Musical, Camp Rock 2, dan Teen Beach. Benar, yang tiba-tiba saja sekelompok orang bernyanyi
dan menari kompak seolah mereka sudah berlatih dahulu (walaupun adegan itu
diawali dengan tokoh utama yang menari solo). Tapi, lagu-lagu di sini bagus.
Enak didengar, lirik menawan, mudah diikuti, dibawakan dengan baik pula.
Gerakan tarinya juga ciamik walaupun tidak berteknik macam-macam. Enak dilihat,
terutama Ella dan Charming (alias
Tessa/Bella dan Reed alias Sofia
Carson dan Thomas Law).
Hal baru lain yang ditawarkan
adalah tokoh Upik Abu kita bisa mengutak-atik motor. Ini mengingatkan pada
Cinder si Mekanik dari The Lunar Chronicles karangan Marissa Meyer. ((Lalu
mengingatkan pada Kai, lalu pada Wolf, lalu pada Jacin, lalu pada Thorne....
Oh, oke.))
Selain itu, “ibu peri” di sini
adalah seorang makeup artist; Georgie.
Dia mendandani Tessa menjadi Bella. Memang, sekadar memberi lipgloss berwarna; tahi lalat di pipi
kanan atas; lensa kontak biru; rambut palsu pirang berponi. Itu tidak cukup
“menutupi” Tessa, sebetulnya. Seharusnya ibu dan saudara tirinya sadar. Namun, ya,
film ini mengabaikan itu.
Lucunya juga, Tessa sempat harus
bolak-balik ruang ganti bertemu Georgie karena dia harus menjadi Tessa yang
bersama Reed membetulkan motor (kelak digunakan di drama sebagai kereta labu),
juga pada saat yang sama menjadi Bella berlatih drama.
“Don’t know why I run
Don’t know why I hide
Never let them know
What I feel inside”
Beruntung, Reed tidak jatuh cinta
pada Bella, tapi pada Tessa.
Jadi, ini soal apakah Tessa
berani mengejar mimpinya. Sekaligus apakah dia berani menunjukkan diri.
Soal Reed yang jatuh hati....
Terasa kurang, sih. Seperti “Kok, tiba-tiba suka? Bagaimana bisa? Kelihatan
terlalu cepat dan tak jelas.”.
Tapi, chemistry Law dan Carson waktu menyanyi ada, sih. Waktu menari juga
enak lihatnya. ((oke, waktu akting biasa juga lumayan oke))
“Like a bird
Free to fly
Spread my wings and fly my life
Like a bird
Up so high out of the cage
It’s my time to shine”
Dalam genre komedi, film ini
cukup berhasil. Bagian-bagian lucunya alami. Ada pula tokoh yang dengan hanya
melihatnya muncul di layar sudah langsung membuat tertawa (yang berperan jadi
ibu peri dalam drama).
Jika ada film Cinderella
kontemporer baru, apakah aku akan tak menontonnya?
Mungkin. Tapi yang jelas, pasti
kupertimbangkan. Karena, film-film ini tampaknya mampu menawarkan hal baru dan
unik dalam cara mereka sendiri.
Penginnya, sih, lebih banyak film
kontemporer dari dongeng klasik lain. Setahuku ada satu film Snow White. Apakah
kau tahu ada yang lain? Tell me, ya.
No comments:
Post a Comment