Thursday, October 17, 2019

Brave

BRAVE (2012) REVIEW


"But are you willing to pay the price your freedom will cost?" -Queen Elinor-
Setelah mengecewakan para penonton dan kritikus dengan film Cars 2-nya tahun lalu, Disney-Pixar kembali berusaha membuktikan bahwa mereka masih layak memegang gelar studio animasi terbaik di dunia lewat feature film ke-13 mereka : Brave. Apakah film ini sukses mengembalikan kepercayaan para penonton terhadap Pixar, atau malah semakin memperkuat mitos angka 13?


Fortunately, Disney-Pixar masih belum kehilangan kepiawaiannya dalam membuat film animasi. Brave berhasil menghadirkan hampir semua yang diharapkan oleh para penonton dan pecinta film dari film buah karya Pixar, mulai dari graphic animasi-nya yang semakin baik dan halus, karakter yang memorable, naskah yang solid, hingga petualangan seru dari awal sampai akhir. Tetapi, bagi yang mengharapkan sesuatu yang inovatif dari Pixar, anda akan kecewa pada film ini. Brave adalah contoh karya orisinil Pixar yang lebih banyak bermain aman dengan formula film - film princess ala Disney dengan konflik cerita yang cukup cliche, daripada mencoba untuk menerapkan ide - ide gila seperti yang telah mereka lakukan pada film Up, Wall-E, Ratatouille, dan Toy Story Trilogy.
Kisah Brave ber-setting di dataran Scotland dan berfokus pada Princess Merida (Kelly Macdonald) yang mana adalah putri pertama dari King Fergus (Billy Connolly), pemimpin kerajaan DunBroch di Scotland. Walau memiki status sosial yang tinggi, Merida lebih menyukai petualangan di alam bebas dan berlatih archery daripada harus belajar tata krama, peraturan kerajaan dan berperilaku seperti seorang putri raja seharusnya. 
Suatu hari, King Fergus dan istrinya, Queen Elinor (Emma Thompson) menebar undangan ke ketiga kerajaan sahabat DunBroch : Dingwall, Macintosh (untuk menghormati Steve Jobs) dan MacGuffin; di mana keempat anak sulung dari masing - masing suku akan berkompetisi satu sama lain untuk menjadi suami dari putri sulung Kerajaan DunBroch, yang tidak lain adalah Merida sendiri. Mendengar berita tersebut, Merida sangat marah dan bertengkar hebat dengan ibu-nya, yang kemudian membuat Merida nekad melarikan diri dari kerajaan DunBroch. Namun, ia tidak tahu bahwa pelariannya itu justru memicu bencana yang akan berbuntut pada kehancurkan keempat kerajaan tersebut.

Seperti biasa, kualitas grafis animasi keluaran Pixar selalu meningkat tiap tahunnya, dan tidak terkecuali film Brave. Mulai dari rambut orange Merida, pemandangan scotland, tekstur animasi, hingga permainan warnanya, semua bisa ter-render dengan amat baik di layar bioskop. Hal ini tentu berkat dukungan hasil riset mendalam yang dilakukan oleh para kru - kru Pixar. Jajaran cast pengisi suaranya sebagian besar adalah kelahiran Scotland, sehingga mereka tidak kesulitan untuk menghidupkan karakternya dengan logat Scottish mereka yang ear-catching (istilah baru?). Dan untuk musik, Pixar mempercayakannya ke tangan Patrick Doyle yang juga kelahiran Scotland, daripada menggunakan Randy Newman ataupun Michael Giacchino yang merupakan komposer langganan mereka. Hasilnya cukup bagus, walau tidak se-memorable karya Giacchino dan Newman.
Sementara itu, dari segi alur cerita, Brave tidak begitu berhasil menghadirkan sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Konflik antara Merida dengan orang tua-nya, ataupun penokohan tiap karakternya juga sering diangkat, tidak hanya dalam bentuk film animasi, tetapi juga film - film drama remaja kebanyakan. Belum lagi, absennya tokoh antagonis dalam film ini agaknya cukup mengurangi greget dan bisa dibilang sangat jarang untuk sebuah film animasi, terutama yang big budget seperti film ini. 
Tetapi untungnya, Pixar berhasil me-recycle formula usang tersebut menjadi sebuah narasi yang kualitasnya layak untuk diacungi jempol dan sangat enjoyable dari awal hingga akhir. Pengembangan ceritanya terus meningkat seiring bergulirnya durasi dengan berbagai bumbu misteri, adegan aksi yang mendebarkan, twist serta elemen fantasi yang kesemuanya sukses dicampur - aduk dengan baik, tanpa harus melupakan selipan nilai moral, humor - humor (yang sayangnya terlalu vulgar untuk film anak - anak) dan juga beberapa adegan menyentuh yang sama sekali tidak dibuat berlebihan. Meski terlihat cukup kompleks, anak - anak sepertinya tidak terlalu kesulitan untuk memetik nilai moral dan mencerna keseluruhan kisahnya. Sedangkan para remaja dan orang tua, akan cukup terkejut dengan pengembangan ceritanya yang tidak se-sederhana seperti dalam trailernya.
Overall, Brave memang tidak berhasil mencapai standard ‘luar biasa’ film - film masterpiece Pixar lainnya meski ia memiliki potensi, but it’s still a very good one. Mari kita semua berharap Monsters University bisa melebihi ekspetasi para cinephiles tahun depan.



No comments:

Post a Comment