The Princess Diaries
Film Disney
tahun 2001 ini merupakan salah satu film drama Disney yang paling disukai.
Bagaimana tidak, banyak kalangan yang memuji film ini dan filmnya sendiri
berhasil meraup keuntungan yang cukup memuaskan, maka diputuskan untuk
melanjutkan kisahnya lewat The Princess Diaries 2: Royal Engagement. Aku
sendiri melihat The Princess Diaries pertama kali sekitar tahun 2005.
Sepertinya waktu itu kelas 5 SD. Ketika itu nontonnya di TV, secara tidak
sengaja, dan, langsung suka.
The Princess Diaries merupakan sebuah
drama yang penuh keajaiban, mengandung mimpi banyak orang. Temanya cukup unik
sekaligus sederhana dan enak diikuti: Bagaimana kalau tiba-tiba kamu diberitahu
bahwa kamu adalah penerus takhta sebuah kerajaan? Hmm...rasanya hampir semua
orang (setidaknya sewaktu kecil, karena aku nonton waktu kelas 5) pernah
memimpikan, membayangkan, atau berimajinasi menjadi pangeran, putri, raja, atau
ratu, “Hmm...seandainya aku adalah raja...” Nah, The Princess Diaries seolah
menjawabnya!
Film yang diangkat dari novel sukses
karya Mag Cabot ini berhasil menyajikan nuansa unik nan menarik masa transisi
seorang remaja putri ‘tidak populer’ menjadi ‘Putri Kerajaan Genovia’. Mia
Thermopolis (diperankan oleh Anne Hathaway) tidak pernah menyangka bahwa dia
sejatinya adalah seorang putri kerajaan! Ternyata neneknya, Clarisse Renaldi
(diperankan oleh Julie Andrews), adalah ratu kerajaan Genovia yang tengah
bergegas menyiapkan perayaan pengumuman pewaris takhta karena putra keduanya
yang seharusnya menjadi raja, meninggal dunia. Ya, dia adalah ayah Mia.
Sebenarnya, Clarisse sangat khawatir
karena masalah politik bisa terjadi dan keluarganya takkan bertakhta lagi
karena tidak memiliki penerus. Ia pun berusaha mendidik Mia bagaimana menjadi ‘seorang
putri’. Tapi itu tidak mudah, ketika kamu, yang biasanya naik skuter ke sekolah
dan tinggal di bekas kantor pemadam kebakaran dan tidak populer di sekolah,
tiba-tiba berangkat ke sekolah dengan limusin dan pengawal!
Kisah asmara dalam The Princess
Diaries juga cukup menghibur dan disajikan secara alami dan ada prosesnya.
Adalah seorang cowok yang bekerja di sebuah bengkel sekaligus bermain band yang
menyukai Mia jauh sebelum Mia menjadi gadis kerajaan yang cantik dan populer.
Aksi Anne Hathaway dan Julie Andrews
cukup memukau dan mengikat penonton dalam film ini, terutama dalam menyampaikan
sebuah pesan singkat: “Hey, bisa saja kamu ini ditakdirkan untuk sesuatu yang
besar. Kamu hanya belum menyadarinya!” Ya, filmnya cukup segar dan seolah
sangat siap untuk menyambut sebuah sekuel. Ya?
Jawabannya: TIDAK.
Dari awal, sekuel ini sudah terlihat
ngaco. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah ‘menyingkirkan Michael Moscovich
(diperankan oleh Robert Schwarzman)’ untuk sebuah cerita yang lebih ringan
lagi. The Princess Diaries sudah cukup ringan tanpa perlu diringankan lagi.
Dalam The Princess Diaries 2, semuanya tampak sangat sederhana dan tidak
mengikat. Plotnya jadi sangat lemah. Sekarang, menurutku, tak ubahnya menonton
Sophia the First versi live action, atau Disney’s Princess Enchanted Tales.
Sejak awal kesalahan fatal itu sudah
dibuat. Seharusnya, karakter Michael tetap dipertahankan, untuk melanjutkan
kontinuitas film pertamanya. Kesan tidak serius semakin kentara setelah
menit-demi menit berlalu. Salah satu poin yang dipuji-puji adalah karena Julie
Andrews menyanyi dalam film ini. Well, film pertama bisa menjadi sangat bagus
tanpa Julie Andrews yang bernyanyi. Julie memang seringkali diasosiasikan
dengan lagu musikal karena ia adalah seorang bintang film musikal (Mary
Poppins, The Sound of Music). Alhasil, filmnya malah mengulangi tradisi Disney
kebanyakan: Merusak citra film pertama dengan menciptakan sekuel alias sekuelnya
tidak perlu-perlu amat untuk dibuat. Dalam kasus The Princess Diaries 2,
agaknya jalan ceritanya terlalu dipaksakan dan menjadi mainstream. Konflik
cintanya seakan lebih rumit tapi justru jauh-jauh lebih sederhana ketimbang
film pertamanya.
Well...kedua film ini memang cukup
menghibur untuk disaksikan. Andai tidak ada film pertamanya, film ke-2 mungkin
bisa dijadikan film musikan yang menawan. Tapi, karena ada film pertamanya,
film ke-2 seharusnya menunjukkan kontinuitas. Tapi, hal ini memang sudah
menjadi semacam tren bagi Disney (Cinderella 2, The Lion King 3, The Emperor’s
New Groove 2, dll) untuk membuat sekuel yang ‘tidak perlu dibuat’. Gampangnya,
sebagai contoh, film The Lion King 3 cukup lucu. Tapi, apakah kita perlu tahu
bahwa adegan megah binatang yang berlutut pada Simba dalam film pertamanya
adalah cuman karena seekor babi kentut di tengah-tengah kerumunan? Padahal
ceritanya bisa digali lebih dalam lagi dan cukup serius, misalnya seperti Toy Story
dan Monsters, Inc.
No comments:
Post a Comment