Tuesday, October 29, 2019

The Princess Diaries

  The Princess Diaries

Image result for review film the princess diaries
Film Disney tahun 2001 ini merupakan salah satu film drama Disney yang paling disukai. Bagaimana tidak, banyak kalangan yang memuji film ini dan filmnya sendiri berhasil meraup keuntungan yang cukup memuaskan, maka diputuskan untuk melanjutkan kisahnya lewat The Princess Diaries 2: Royal Engagement. Aku sendiri melihat The Princess Diaries pertama kali sekitar tahun 2005. Sepertinya waktu itu kelas 5 SD. Ketika itu nontonnya di TV, secara tidak sengaja, dan, langsung suka.



          The Princess Diaries merupakan sebuah drama yang penuh keajaiban, mengandung mimpi banyak orang. Temanya cukup unik sekaligus sederhana dan enak diikuti: Bagaimana kalau tiba-tiba kamu diberitahu bahwa kamu adalah penerus takhta sebuah kerajaan? Hmm...rasanya hampir semua orang (setidaknya sewaktu kecil, karena aku nonton waktu kelas 5) pernah memimpikan, membayangkan, atau berimajinasi menjadi pangeran, putri, raja, atau ratu, “Hmm...seandainya aku adalah raja...” Nah, The Princess Diaries seolah menjawabnya!



          Film yang diangkat dari novel sukses karya Mag Cabot ini berhasil menyajikan nuansa unik nan menarik masa transisi seorang remaja putri ‘tidak populer’ menjadi ‘Putri Kerajaan Genovia’. Mia Thermopolis (diperankan oleh Anne Hathaway) tidak pernah menyangka bahwa dia sejatinya adalah seorang putri kerajaan! Ternyata neneknya, Clarisse Renaldi (diperankan oleh Julie Andrews), adalah ratu kerajaan Genovia yang tengah bergegas menyiapkan perayaan pengumuman pewaris takhta karena putra keduanya yang seharusnya menjadi raja, meninggal dunia. Ya, dia adalah ayah Mia.

          Sebenarnya, Clarisse sangat khawatir karena masalah politik bisa terjadi dan keluarganya takkan bertakhta lagi karena tidak memiliki penerus. Ia pun berusaha mendidik Mia bagaimana menjadi ‘seorang putri’. Tapi itu tidak mudah, ketika kamu, yang biasanya naik skuter ke sekolah dan tinggal di bekas kantor pemadam kebakaran dan tidak populer di sekolah, tiba-tiba berangkat ke sekolah dengan limusin dan pengawal!

          Kisah asmara dalam The Princess Diaries juga cukup menghibur dan disajikan secara alami dan ada prosesnya. Adalah seorang cowok yang bekerja di sebuah bengkel sekaligus bermain band yang menyukai Mia jauh sebelum Mia menjadi gadis kerajaan yang cantik dan populer.

          Aksi Anne Hathaway dan Julie Andrews cukup memukau dan mengikat penonton dalam film ini, terutama dalam menyampaikan sebuah pesan singkat: “Hey, bisa saja kamu ini ditakdirkan untuk sesuatu yang besar. Kamu hanya belum menyadarinya!” Ya, filmnya cukup segar dan seolah sangat siap untuk menyambut sebuah sekuel. Ya?



          Jawabannya: TIDAK.

          Dari awal, sekuel ini sudah terlihat ngaco. Langkah pertama yang mereka lakukan adalah ‘menyingkirkan Michael Moscovich (diperankan oleh Robert Schwarzman)’ untuk sebuah cerita yang lebih ringan lagi. The Princess Diaries sudah cukup ringan tanpa perlu diringankan lagi. Dalam The Princess Diaries 2, semuanya tampak sangat sederhana dan tidak mengikat. Plotnya jadi sangat lemah. Sekarang, menurutku, tak ubahnya menonton Sophia the First versi live action, atau Disney’s Princess Enchanted Tales.



          Sejak awal kesalahan fatal itu sudah dibuat. Seharusnya, karakter Michael tetap dipertahankan, untuk melanjutkan kontinuitas film pertamanya. Kesan tidak serius semakin kentara setelah menit-demi menit berlalu. Salah satu poin yang dipuji-puji adalah karena Julie Andrews menyanyi dalam film ini. Well, film pertama bisa menjadi sangat bagus tanpa Julie Andrews yang bernyanyi. Julie memang seringkali diasosiasikan dengan lagu musikal karena ia adalah seorang bintang film musikal (Mary Poppins, The Sound of Music). Alhasil, filmnya malah mengulangi tradisi Disney kebanyakan: Merusak citra film pertama dengan menciptakan sekuel alias sekuelnya tidak perlu-perlu amat untuk dibuat. Dalam kasus The Princess Diaries 2, agaknya jalan ceritanya terlalu dipaksakan dan menjadi mainstream. Konflik cintanya seakan lebih rumit tapi justru jauh-jauh lebih sederhana ketimbang film pertamanya.

          Well...kedua film ini memang cukup menghibur untuk disaksikan. Andai tidak ada film pertamanya, film ke-2 mungkin bisa dijadikan film musikan yang menawan. Tapi, karena ada film pertamanya, film ke-2 seharusnya menunjukkan kontinuitas. Tapi, hal ini memang sudah menjadi semacam tren bagi Disney (Cinderella 2, The Lion King 3, The Emperor’s New Groove 2, dll) untuk membuat sekuel yang ‘tidak perlu dibuat’. Gampangnya, sebagai contoh, film The Lion King 3 cukup lucu. Tapi, apakah kita perlu tahu bahwa adegan megah binatang yang berlutut pada Simba dalam film pertamanya adalah cuman karena seekor babi kentut di tengah-tengah kerumunan? Padahal ceritanya bisa digali lebih dalam lagi dan cukup serius, misalnya seperti Toy Story dan Monsters, Inc.

No comments:

Post a Comment