Review: Hugo (2011)
Plot: Hugo Cabret (Asa Butterfield)
mungkin menjadi anak paling malang di Perancis pada dekade 30an. Hugo
kehilangan ayahnya, satu-satunya sosok orang tua baginya, dalam sebuah
kebakaran. Untuk menghindari dimasukkan ke dalam panti asuhan, Hugo
kemudian diasuh oleh sang paman yang bekerja mengatur jam di sebuah
stasiun kereta api. Sebelum ayahnya meninggal, ayahnya menemukan sebuah
robot rusak yang hendak ia dan Hugo perbaiki. Untuk mengenang dan
meneruskan keinginan sang ayah, Hugo pun berusaha untuk memperbaiki
robot tersebut sendiri, mempercayai bahwa robot tersebut memiliki arti
'khusus' baginya dan ayahnya. Petualangannya akan mempertemukannya
dengan seorang kakek penjaga toko mainan (Ben Kingsley) dan cucu angkatnya yang bernama Isabelle (Chloe Grace Moretz).
Review: Ketika berita bahwa Martin Scorsese, seorang sutradara yang sudah terkenal lewat film-film 'keras' nya (ex: Taxi Driver, Raging Bull, Goodfellas, hingga The Departed), akan membuat film keluarga, saya cukup kaget serta dibuat penasaran untuk menyaksikan film tersebut. Ditambah lagi, Scorsese akan membuatnya dalam format 3D. Has Scorsese fallen into a cash-grabbing and safe-seeking director? Mungkin saya tidak akan begitu terkejut kalau tau lebih dulu film seperti apakah yang hendak dibuatnya. Film itu berjudul singkat; Hugo. Hugo diadaptasi dari sebuah novel The Invention of Hugo Cabret hasil karangan Brian Selznick yang dirilis tahun 2007 silam. Saya yang kurang familiar dengan kisah novelnya serta tentang apa novel tersebut dibuat lebih memandang Hugo sebelah mata lagi setelah menyaksikan trailernya, yang menurut saya kurang begitu menarik. Ketika film ini dirilis pun, ternyata di luar dugaan saya, Hugo mendapatkan banyak appraise bertubi-tubi dari kritikus. Banyak yang menyebut film ini 'personal bagi Scorsese'. Setelah saya mencari tau tentang film ini, ternyata film ini juga mengangkat tema perfilman. Lebih tepatnya lagi, perfilman Eropa, yang dalam film ini diwakili oleh Georges Méliès. Beliau adalah pesulap/sineas pioneer legendaris asal Perancis yang memberikan banyak kontribusi terhadap perfilman tempo dulu. Film-filmnya antara lain (yang akan dibahas dalam Hugo); Fairyland: A Kingdom of Fairies (1903), The Eclipse: Courtship of the Sun and Moon (1907) hingga A Trip To The Moon (1902).
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, dari segi tema yang diangkat oleh film ini, Hugo akan mengingatkan kita pada The Artist. Keduanya menggunakan 'love of the movies' sebagai tema. Uniknya, The Artist memakai teknologi yang -boleh saya bilang- primitif, sedangkan Scorsese memanfaatkan teknologi 3D mutakhir untuk filmnya ini. Serta lebih uniknya lagi, The Artist adalah film produksi Perancis yang bercerita tentang perfilman Hollywood, Hugo malah film Hollywood yang diilhami oleh perfilman ( / filmmaker) Perancis. Nah, kalau kita melihat cerita Hugo lebih seksama lagi, perbandingan film ini dengan film nominator Best Picture lainnya, Extremely Loud and Incredibly Close, pun tak ter-elakkan. Hugo, sama seperti Oskar (tokoh utama dalam film Loud & Close), kehilangan sosok ayah yang dekat dengan dirinya. Ayah Hugo, yang diperankan oleh Jude Law disini, memberikan 'wasiat' sebuah robot misterius yang ternyata baru bisa bekerja jikalau ia dapat menemukan sebuah kunci spesial yang ujungnya berbentuk hati. Along the way, ternyata pencarian kunci akan membawanya berkenalan dengan penjaga toko mainan yang dijuluki Papa Georges serta cucunya, Isabelle yang ingin membantunya. Tak lupa juga dengan aksi kucing-kucingan dengan guard stasiun, Inspector Gustave (Sascha Baron Cohen) yang sepertinya seneng banget nangkepin anak-anak yatim ke panti asuhan.
Saya dapat begitu merasakan aura personal dari film ini bagi Martin Scorsese. It's about the magic of cinema. How cinema affects people. How movie going experience affects one little boy. Might be Hugo, might be little Scorsese back then. Dalam film ini, Hugo sempat menarasikan bagaimana aktivitas 'menonton bersama sang ayah' adalah aktivitas yang paling ia suka. Bagaimana ia begitu mencintai aktivitas menonton bioskop saat itu. Sempat pula disinggung tentang sejarah perfilman dalam film ini. Kita akan melihat perjuangan Melies mengerahkan segala nya demi menciptakan film-film spektakuler serta groundbreaking pada zamannya dulu. Dari kesuksesannya tersebut, kita juga akan melihat hancurnya karir Melies akibat Perang Dunia yang membuat animo penonton bioskop berkurang, hancurnya studio dan hilangnya film-film masterpiecenya serta bagaimana ia berujung menjadi pejual toko mainan di stasiun. Walaupun tidak sepenuhnya diangkat dari kisah nyata, secara tidak langsung ini adalah sebuah homage bagi George Melies. Bagi yang merasa agak ragu kalau tidak familiar dengan film-film jadul tersebut, jangan khawatir. Saya pun awalnya juga tidak. Bagi yang mungkin agak malas mencari informasi, tenang saja, Hugo memiliki cerita adventure yang sebenarnya universal. Anggap saja, hal tersebut adalah subplot yang menemani perjalanan Hugo mencari jawaban atas warisan ayahnya. Tetapi bagi yang benar-benar ingin tau, silahkan buka artikel yang (bagi saya) sangat berguna ini.
Lalu berbicara mengenai bidang teknisnya, Hugo terlihat begitu indah dalam hal visual. Diawali dengan scenery kota Paris yang didandani dengan visual effect yang cantik, seketika itu kamera akan mengajak kita menelusur hiruk pikuk stasiun hingga menuju karakter Hugo yang bersembunyi di balik jam yang terpampang di dinding stasiun kereta tersebut. Sequence tersebut akan terlihat sangat epik jika kita melihatnya dalam bentuk 3D (alasan saya akan menonton ulang Hugo ketika ia muncul di bioskop tanah air -in 3D). Tanpa efek 3D pun, divisi art direction yang ada dalam film ini begitu segar untuk dipandang. Pancaran warna nya tidak begitu warna-warni norak mencolok, tetapi dengan memberikan sentuhan elegan yang tetap meriah. Settingnya yang artistik, hingga kostum yang menawan, ditambah pula cinematography dan special effect yang tak kalah apik. Kemudian, berbicara mengenai akting, saya paling suka dengan penampilan Chloe Moretz disini yang tampil dengan aksen British meyakinkan. The best performance of the movie. Kurang suka dengan sang titular character, Hugo yang diperankan oleh pendatang baru Asa Butterfield. Tapi gak begitu jadi masalah sih, still watchable. Pendukung-pendukung lain seperti Ben Kingsley, Sascha Baron Cohen, Helen McRory, Emily Mortimer bermain dengan cukup baik.
Overview: Hugo is definitely one of the best films of 2011. Walaupun saya mengakui bahwa saya ada sedikit masalah dengan beberapa dialog, tetapi secara keseluruhan Hugo memiliki cerita dengan alur yang asik untuk dinikmati. Saya suka dengan tema perfilman yang juga diangkat dalam film ini. Dibandingkan film tentang perfilman 'yang satunya lagi itu', saya lebih suka Hugo dalam menggunakan tema tersebut sebagai landasan cerita. Tetapi tak usah ragu kalau memang tidak familiar dengan film-film tersebut, karena saya yang juga masih awam pun tidak terganggu dalam menonton. Anggap lah film ini sebagai film Fantasy (eh memang film Fantasy sih). A very accomplished visual feast and great homage to filmmaking, this personal film of Scorsese might be one of his best, at least this decade :p
Review: Ketika berita bahwa Martin Scorsese, seorang sutradara yang sudah terkenal lewat film-film 'keras' nya (ex: Taxi Driver, Raging Bull, Goodfellas, hingga The Departed), akan membuat film keluarga, saya cukup kaget serta dibuat penasaran untuk menyaksikan film tersebut. Ditambah lagi, Scorsese akan membuatnya dalam format 3D. Has Scorsese fallen into a cash-grabbing and safe-seeking director? Mungkin saya tidak akan begitu terkejut kalau tau lebih dulu film seperti apakah yang hendak dibuatnya. Film itu berjudul singkat; Hugo. Hugo diadaptasi dari sebuah novel The Invention of Hugo Cabret hasil karangan Brian Selznick yang dirilis tahun 2007 silam. Saya yang kurang familiar dengan kisah novelnya serta tentang apa novel tersebut dibuat lebih memandang Hugo sebelah mata lagi setelah menyaksikan trailernya, yang menurut saya kurang begitu menarik. Ketika film ini dirilis pun, ternyata di luar dugaan saya, Hugo mendapatkan banyak appraise bertubi-tubi dari kritikus. Banyak yang menyebut film ini 'personal bagi Scorsese'. Setelah saya mencari tau tentang film ini, ternyata film ini juga mengangkat tema perfilman. Lebih tepatnya lagi, perfilman Eropa, yang dalam film ini diwakili oleh Georges Méliès. Beliau adalah pesulap/sineas pioneer legendaris asal Perancis yang memberikan banyak kontribusi terhadap perfilman tempo dulu. Film-filmnya antara lain (yang akan dibahas dalam Hugo); Fairyland: A Kingdom of Fairies (1903), The Eclipse: Courtship of the Sun and Moon (1907) hingga A Trip To The Moon (1902).
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, dari segi tema yang diangkat oleh film ini, Hugo akan mengingatkan kita pada The Artist. Keduanya menggunakan 'love of the movies' sebagai tema. Uniknya, The Artist memakai teknologi yang -boleh saya bilang- primitif, sedangkan Scorsese memanfaatkan teknologi 3D mutakhir untuk filmnya ini. Serta lebih uniknya lagi, The Artist adalah film produksi Perancis yang bercerita tentang perfilman Hollywood, Hugo malah film Hollywood yang diilhami oleh perfilman ( / filmmaker) Perancis. Nah, kalau kita melihat cerita Hugo lebih seksama lagi, perbandingan film ini dengan film nominator Best Picture lainnya, Extremely Loud and Incredibly Close, pun tak ter-elakkan. Hugo, sama seperti Oskar (tokoh utama dalam film Loud & Close), kehilangan sosok ayah yang dekat dengan dirinya. Ayah Hugo, yang diperankan oleh Jude Law disini, memberikan 'wasiat' sebuah robot misterius yang ternyata baru bisa bekerja jikalau ia dapat menemukan sebuah kunci spesial yang ujungnya berbentuk hati. Along the way, ternyata pencarian kunci akan membawanya berkenalan dengan penjaga toko mainan yang dijuluki Papa Georges serta cucunya, Isabelle yang ingin membantunya. Tak lupa juga dengan aksi kucing-kucingan dengan guard stasiun, Inspector Gustave (Sascha Baron Cohen) yang sepertinya seneng banget nangkepin anak-anak yatim ke panti asuhan.
Saya dapat begitu merasakan aura personal dari film ini bagi Martin Scorsese. It's about the magic of cinema. How cinema affects people. How movie going experience affects one little boy. Might be Hugo, might be little Scorsese back then. Dalam film ini, Hugo sempat menarasikan bagaimana aktivitas 'menonton bersama sang ayah' adalah aktivitas yang paling ia suka. Bagaimana ia begitu mencintai aktivitas menonton bioskop saat itu. Sempat pula disinggung tentang sejarah perfilman dalam film ini. Kita akan melihat perjuangan Melies mengerahkan segala nya demi menciptakan film-film spektakuler serta groundbreaking pada zamannya dulu. Dari kesuksesannya tersebut, kita juga akan melihat hancurnya karir Melies akibat Perang Dunia yang membuat animo penonton bioskop berkurang, hancurnya studio dan hilangnya film-film masterpiecenya serta bagaimana ia berujung menjadi pejual toko mainan di stasiun. Walaupun tidak sepenuhnya diangkat dari kisah nyata, secara tidak langsung ini adalah sebuah homage bagi George Melies. Bagi yang merasa agak ragu kalau tidak familiar dengan film-film jadul tersebut, jangan khawatir. Saya pun awalnya juga tidak. Bagi yang mungkin agak malas mencari informasi, tenang saja, Hugo memiliki cerita adventure yang sebenarnya universal. Anggap saja, hal tersebut adalah subplot yang menemani perjalanan Hugo mencari jawaban atas warisan ayahnya. Tetapi bagi yang benar-benar ingin tau, silahkan buka artikel yang (bagi saya) sangat berguna ini.
Lalu berbicara mengenai bidang teknisnya, Hugo terlihat begitu indah dalam hal visual. Diawali dengan scenery kota Paris yang didandani dengan visual effect yang cantik, seketika itu kamera akan mengajak kita menelusur hiruk pikuk stasiun hingga menuju karakter Hugo yang bersembunyi di balik jam yang terpampang di dinding stasiun kereta tersebut. Sequence tersebut akan terlihat sangat epik jika kita melihatnya dalam bentuk 3D (alasan saya akan menonton ulang Hugo ketika ia muncul di bioskop tanah air -in 3D). Tanpa efek 3D pun, divisi art direction yang ada dalam film ini begitu segar untuk dipandang. Pancaran warna nya tidak begitu warna-warni norak mencolok, tetapi dengan memberikan sentuhan elegan yang tetap meriah. Settingnya yang artistik, hingga kostum yang menawan, ditambah pula cinematography dan special effect yang tak kalah apik. Kemudian, berbicara mengenai akting, saya paling suka dengan penampilan Chloe Moretz disini yang tampil dengan aksen British meyakinkan. The best performance of the movie. Kurang suka dengan sang titular character, Hugo yang diperankan oleh pendatang baru Asa Butterfield. Tapi gak begitu jadi masalah sih, still watchable. Pendukung-pendukung lain seperti Ben Kingsley, Sascha Baron Cohen, Helen McRory, Emily Mortimer bermain dengan cukup baik.
Overview: Hugo is definitely one of the best films of 2011. Walaupun saya mengakui bahwa saya ada sedikit masalah dengan beberapa dialog, tetapi secara keseluruhan Hugo memiliki cerita dengan alur yang asik untuk dinikmati. Saya suka dengan tema perfilman yang juga diangkat dalam film ini. Dibandingkan film tentang perfilman 'yang satunya lagi itu', saya lebih suka Hugo dalam menggunakan tema tersebut sebagai landasan cerita. Tetapi tak usah ragu kalau memang tidak familiar dengan film-film tersebut, karena saya yang juga masih awam pun tidak terganggu dalam menonton. Anggap lah film ini sebagai film Fantasy (eh memang film Fantasy sih). A very accomplished visual feast and great homage to filmmaking, this personal film of Scorsese might be one of his best, at least this decade :p
Hugo (2011) | Adventure, Drama, Family, Mystery | Rated PG for mild thematic material, some action/peril and smoking | Cast: Asa Butterfield, Ben Kingsley, Chloë Grace Moretz, Sacha Baron Cohen, Ray Winstone, Jude Law, Christopher Lee, Helen McCrory, Michael Stuhlbarg, Emily Mortimer | Written by: John Logan | Directed by: Martin Scorsese
No comments:
Post a Comment