Tuesday, October 29, 2019

The Devil Wears Prada

Movie Review: The Devil Wears Prada (2006)

Hidup adalah perjuangan dan bekerja adalah salah satu bentuk berjuang. Jobhuners, berapa banyak dari kalian yang mengenal teman yang sudah dapat pekerjaan dalam waktu relatif cepat terhitung dari kelulusannya tetapi merasa tidak nyaman di tempat kerja dan akhirnya memutuskan resign? Pernahkah kalian menanyakan alasannya?
Sebagian dari teman-teman mungkin akan memberikan jawaban ketidakcocokan antara kualifikasi dengan job description, atau mungkin masalah tidak cocok dengan budaya organisasi. Belum lagi kasus yang paling lumrah tentang senior yang sepertinya selalu membenci kita setiap hari. Kondisi seperti ini yang paling membuat kita mudah berpikir kalau ‘kita tidak ditakdirkan untuk mendapat rejeki dari pekerjaan ini.’
2
Kondisi inilah yang menjadi cerita pada film berjudul The Devil Wears Prada. Latar cerita tentang perubahan kehidupan seorang perempuan bernama Andrea Sachs (Anne Hathaway) yang merupakan jurnalis lulusan Northwestern University. Ia memiliki mimpi untuk bekerja di perusahaan publikasi New York City namun malah memutuskan untuk mengambil kesempatan dalam posisi asisten Miranda Priestly (Meryl Streep), seorang pemimpin redaksi majalah busana Runway yang terkenal sadis namun sangat berdedikasi untuk pekerjaannya.
Berlatar pendidikan jurnalis dan tidak memiliki selera fashion baik seperti yang menjadi standar bekerja di Runway, Andrea awalnya sempat diremehkan, baik oleh Miranda maupun asisten utamanya, Emily Charlton (Emily Blunt) dan Nigel (Stanley Tucci). Style berpakaiannya yang berbeda 180 derajat dengan semua pegawai di Runway membuat Andrea betul-betul membuat sekitarnya geleng-geleng kepala, apalagi tahu kalau posisinya sebagai asisten pemimpin redaksi majalah fashion. Meski begitu, ia adalah pribadi yang cerdas dan (untungnya) Miranda mampu melihat sisi lain dari Andrea – yang kemudian membuatnya berubah pikiran untuk mempekerjakan Andrea.
Bukan perkara mudah untuk move on dan segera menyesuaikan diri pada hal yang berbeda dengan kehidupan kita sebelumnya. Andrea harus belajar banyak hal yang bahkan tidak banyak berhubungan dengan ilmu yang dia pelajari di kampus. Pekerjaannya di Runway tidak banyak berbeda dari seorang personal assistant bahkan lebih mirip pesuruh. Membelikan kopi, bersikap cepat dan tegas, multitasking, tahan banting dengan karakter bos yang galak, dan asisten senior yang tidak sabar dengan pelannya mode belajar Andrea. Semua harus bisa dihadapi dalam waktu bersamaan., semua pekerjaan harus selesai dengan sempurna.
Bertahan dalam beberapa bulan dengan mode kerja yang tidak sesuai ekspektasinya tentu membuat Andrea memiliki perasaan down. Ada perasaan tidak adil mengapa ia tak pernah mendapat apresiasi saat pekerjaannya baik namun selalu dihujat ketika melakukan kesalahan. Kesedihannya berhenti saat Andrea berbicara pada Nigel yang membangunkannya ke dunia nyata dengan berkata, “Jangan menjadi cengeng. Miranda hanya melakukan pekerjaannya. Bangunlah!”
Masalah tak berhenti di sisi pekerjaan. Andrea merasakan betul bagaimana pilihannya untuk bekerja di Runway memengaruhi kehidupan pribadi dan sosialnya. Pada awalnya ada perasaan bangga di depan teman-teman, namun perlahan berubah menjadi sikap cuek dan selalu mendulukan pekerjaan – atau lebih tepatnya, panggilan dari Miranda yang akan memengaruhi karirnya. Sang pacar, Nate (Adrian Grenier), bahkan sudah memeringatinya berulang kali untuk keluar dari hal yang tidak membuatnya nyaman apalagi sampai memengaruhi prinsip dan idealismenya. Namun, Andrea hanya merasa ini bagian dari proses yang harus dijalani kalau ia ingin mencapai mimpi bekerja di NYC Publication.
Konflik yang beragam dan kompleks dengan alur yang runtut membuat film ini cukup mudah dinikmati dan diambil pelajarannya. Secara keseluruhan, film ini cukup apik dengan rating IMDb mencapai 6.9/10. Tak hanya bisa menjadi hiburan bagi para pekerja, film ini justru lebih baik untuk dilihat oleh kamu yang berstatus mahasiswa akhir maupun para jobseekers. The Devil Wears Prada mampu memberikan gambaran bagaimana kehidupan seorang pekerja baru yang belum pernah memiliki pengalaman kerja, menjalani pilihan batu loncatan, berhadapan dengan banyak masalah pekerjaan yang harus diselesaikan secara profesional, dan masih banyak lagi. Ini juga merupakan karya film pembelajaran yang baik tentang bagaimana kita juga tidak boleh melupakan orang-orang yang sudah mendukung kita di saat kita berada pada titik terendah.
Satu lagi pembelajaran yang bisa diambil dari film ini, bagi kamu Jobhuners yang mungkin beberapa waktu belum sempat mendapatkan kesempatan bekerja seperti impian dan juga apa yang dirasakan teman-temanmu sekarang. Bekerja itu berjuang, sehingga bekerja juga bukan merupakan hal yang mudah. Kamu tak perlu menanam rasa iri hati pada teman-teman yang sepertinya mudah mendapatkan pekerjaan. Meskipun selama ini mereka selalu memposting hal yang positif, tetapi tentu ada saat di mana pekerjaan mereka tidak menyenangkan. Jadikanlah refleksi bagi diri sendiri jika kita ingin sekali sama seperti teman-teman yang sudah bekerja: siapkah kita untuk move on dari dunia kampus ke dunia kerja yang menuntut banyak sekali perubahan?

No comments:

Post a Comment