OZ THE GREAT AND POWERFUL (2013)
Pembuatan film ini jelas sebuah keputusan yang begitu berani jika tidak boleh dikatakan lancang. Pembuatan sekuel, prekuel, remake hingga reboot
memang sudah jadi hal yang begitu wajar dilakukan oleh Hollywood
sekarang ini, namun tetap saja ada karya-karya klasik nan legendaris
yang sudah seharusnya tidak diutak-atik lagi. Film The Wizard of Oz
yang dirilis tahun 1939 adalah satu dari beberapa film yang masuk
kategori klasik tersebut. Dengan bujet $215 juta jelas menjadikan Oz the Great and Powerful
sebagai pertaruhan besar, karena bisa saja film ini menjadi sebuah
kegagalan total baik dari segi kualitas maupun komersil. Kejutan kembali
terjadi saat Sam Raimi ditunjuk sebagai sutradara. Meskipun sudah
melakukan berbagai lintas genre mulai dari film superhero (trilogi Spider-Man) hingga drama dalam For Love of the Game
tetap saja nama Raimi lebih identik dengan film horror. Maka dari itu
keputusannya untuk menyutradari sebuah film fantasi yang lebih punya tone cerah cukup mengejutkan. Cerita dalam film ini sendiri adalah prekuel tidak langsung dari film klasiknya dan ber-setting sekitar 20 tahun sebelum kedatangan Dorothy ke Oz.
Oscar "Oz"
Diggs (James Franco) adalah seorang pesulap yang hidup bersama sebuah
kelompok sirkus. Saat tengah mengadakan pertunjukkan di Kansas dia
terlibat masalah dengan anggota sirkus lain akibat sifatnya yang sering
bermain-main dengan wanita. Oz pun menaiki balon udara untuk kabur.
Namun di tengah perjalanan ia terjebak dalam sebuah tornado dahsyat dan
begitu terbangun ia sudah tiba d Oz, sebuah negeri misterius namun juga
indah layaknya di negeri dongeng. Disana, Oz bertemu dengan seorang
penyihir bernama Theodora (Mila Kunis) yang memberitahukan tentang
sebuah ramalan mengenai kemunculan seorang penyihir bernama Oz yang akan
menyelamatkan negeri tersebut dari kekuasaan sang penyihir jahat. Tanpa
pikir panjang Oz langsung membenarkan bahwa dirinya memang benar
penyihir yang ada dalam ramalan. Theodora yang perlahan mulai jatuh
cinta pada Oz membawa Oz untuk bertemu dengan kakaknya, Evanora (Rachel
Weisz) yang juga merupakan satu dari tiga penyihir wanita di Oz. Oz pun
diminta untuk megakhiri kekuasaan sang penyihir jahat yang belakangan
diketahui adalah Glinda (Michelle Williams). Namun dalam perjalanannya
Oz tidak sendiri dimana ia juga ditemani oleh seekor monyet terbang yang
bisa bicara dan sebuah boneka keramik berwujud gadis cilik.
Oz the Great and Powerful punya begitu banyak referensi yang juga sebagai bentuk homage bagi film The Wizard of Oz. Bagi anda yang sudah menonton film klasik tersebut pasti akan dengan mudah menemukan homage yang bertebaran tersebut. Paruh awal kurang lebih 20 menit pertama film ini dikemas layaknya The Wizard of Oz dimana gambarnya memakai rasio berukuran 4:3 lengkap dengan warna hitam putih sebelum kembali memakai format widescreen
penuh warna saat film sudah berlokasi di Oz. Hal ini sama dengan film
lamanya dimana saat Dorothy masih berada di Kansas film memakai warna
hitam putih sebelum kemudian menjadi berwarna saat ia tiba di Oz.
Pengemasan ini tidak hanya memberikan homage saja tapi juga
membuat penonton secara tidak sadar akan makin terpukau saat mulai
memasuki negeri Oz setelah sebelumnya disuguhi gambar hitam putih dengan
rasio gambar berukuran kecil. Berbagai referensi lain yang berkaitan
dengan jalan cerita juga turut muncul di film ini dan akan membuat
penonton yang sudah menonton The Wizard of Oz pasti akan terhibur
dengan berbagai referensi tersebut bahkan mungkin akan tertantang untuk
terus menemukan hal-hal yang menghubungkan film ini dengan pendahulunya
tersebut.
Diluar segala referensi tersebut, Oz the Great and Powerful
punya cerita yang bisa dibilang sederhana. Jika Dorothy melakukan
perjalanan untuk kemudian menemukan kekuatan dalam dirinya, maka film
ini adalah kisah tentang seorang pria egois yang menemukan kebaikan
dalam dirinya meski hal itu tidak ia sadari dan tidak berusaha ia cari
sebelumnya. Singkatnya ini adalah sebuah kisah zero-to-hero yang standar tanpa menawarkan perubahan berarti, bahkan twist
yang diberikan pun bukan sebuah hal yang mengejutkan meski saya sendiri
tidak yakin hal itu dimaksudkan memang untuk menjadi sebuah kejutan.
Tapi disamping kisahnya yang tidak menawarkan inovasi, film ini
tertolong oleh berbagai momen komediknya yang begitu efektif untuk
memancing tawa. Kemunculan karakter Finley si monyet terbang adalah
salah satu pemancing tawa terbanyak di film ini. Berbagai dialog juga
dengan cukup cerdas mampu memberikan humor yang efektif memancing tawa.
Oz the Great and Powerful juga cukup sering dibandingkan dengan Alice in Wonderland
milik Burton karena aspek visualnya dalam memvisualisasikan dunia Oz.
Film ini memang penuh dengan warna yang cerah lengkap dengan berbagai
macam tumbuhan ataupun hewan-hewan unik yang membuat visualnya menjadi
semakin berwarna. Tapi sebenarnya saya tidak merasakan polesan visual
dari CGI film ini sebagai hal yang spesial karena tipikal dunianya tidak
jauh beda dengan apa yang terliaht di Alice in Wonderland, bahkan
di beberapa bagian CGI-nya tidak selaras dengan para pemainnya dan
masih terlihat kasar. Untungnya film ini dibalut dengan efek 3D yang
cukup memukau. Aspek 3D tersebut membuat pemandangan yang ditampilkan
memiliki kedalaman yang baik, warna yang cerah dan terpenting momen
dimana objek nampak keluar dari layar muncul dengan meyakinkan. Sebuah
adegan dimana Oscar baru tiba di negeri Oz dan harus berjuang melewati
sebuah air terjun menjadi terasa menegangkan berkat polesan 3D yang
bagus.
Jika bicara
tentang deretan pemainnya, film ini punya nama-nama yang menjanjikan.
James Franco muncul sebagai pemeran utama menggantikan Johnny Depp dan
Robert Downey Jr. yang sebelumnya adalah pilihan pertama. Performanya
disini saya yakin akan memecah pendapat orang menjadi dua kubu. Franco
sendiri sebenarnya tidaklah terlalu buruk sebagai sosok Oz yang egois, womanizer dan punya beberapa momen sekaligus line komedi. Namun dia kurang memiliki kharisma sebagai seorang leading man.
Tapi bagi saya memang seperti itulah sosok Oz. Dia bukan pria dengan
wibawa karena sebenarnya ia hanya seorang penipu yang egois, tapi secara
perlahan mulai menemukan kebaikan dalam hatinya. Banyak orang mungkin
akan lebih memilih Downey Jr. tapi melihat sosok Downey Jr. yang terasa
terlalu tua saya tetap lebih memilih James Franco. Depp? Saya masih
merasa bosan jika harus melihatnya bermain dalam peran seperti sosok Oz.
Sedangkan untuk ketiga penyihir wanita yang ada memang tidak
menampilkan akting yang bisa dibilang sangat bagus akibat
karakterisasinya memang tidak ditampilkan mendalam. Namun saya menyukai
Michelle Williams yang begitu pas sebagai sosok penyihir baik hati dan
saya tidak bisa membayangkan aktris lain menggantikannya dalam peran
tersebut. Tapi diluar itu ketiganya sanggup memperlihatkan sosok
penyihir wanita yang cantik dan begitu menggoda, membuat saya melupakan
kekurangan akting maupun karakterisasinya.
Visual yang
berwarna dibalut dengan aspek 3D yang memukau membuat film ini menjadi
sajian visual yang memuaskan. Ceritanya sederhana dan dibalut komedi
yang efektif juga membuat Oz the Great and Powerful menjadi
sebuah hiburan yang menyenangkan untuk ditonton secara santai sebagai
sebuah film ringan nan menghibur. Namun sayangnya plot yang ditawarkan
seringkali terasa sedikit kacau dan cukup terburu-buru. Ambil contoh
disaat salah Theodora berbalik menjadi membenci Oz, hal tersebut terasa
terlalu cepat terjadi. Terasa tidak logis disaat seorang yang tadinya
begitu mencintai negerinya berubah 180 derajat dengan begitu cepatnya.
Karena perasaannya disakiti? Saya rasa itu sebuah transformasi yang
terlalu terburu-buru dan terlalu menggampangkan. Diluar contoh tersebut
masih ada beberapa plot hole lainnya yang biar bagaimanapun terasa mengganggu bagi saya. Tapi lagi-lagi Oz the Great and Powerful
beruntung punya kelebihan di aspek lainnya seperti visual, tiga pemeran
wanitanya yang begitu menggoda, serta sentuhan humor yang berhasil
menjadikan film ini sebagai hiburan yang menyenangkan meski cukup kacau
jika bicara masalah plot.
No comments:
Post a Comment