Tuesday, October 22, 2019

Zootopia

ZOOTOPIA [2016]

Lewat “Zootopia,” Disney telah mengobati kekecewaan saya pada Pixar karena “The Good Dinosaur” (2015). “Zootopia” membuktikan tidak hanya semakin bagus dari kualitas animasinya, tapi juga dari segi cerita. Dibanding animasi Disney pendahulunya, saya rasa “Zootopia” sedikit lebih berat untuk konsumsi anak-anak. Khususnya pada beberapa adegan dan istilah, serta topik stereotype yang diangkatnya.

Walau begitu, “Zootopia” masih terkandung banyak pesan moral di dalamnya. Film animasi semacam inilah yang menjadi banyak disukai oleh semua kalangan. Untuk gaya penceritaannya sendiri, sutradara Byron Howard dan Rich Moore menggunakan personifikasi dari hewan mamalia. Bukan hal baru memang, tapi “Zootopia” menawarkan konflik yang jauh lebih padat berisi.
Tersebutlah sebuah kota bernama Zootopia, banyak dihuni oleh hewan-hewan mamalia baik pemangsa dan mangsa, namun hidup secara damai. Dari namanya sendiri adalah gabungan “zoo” dan “utopia,” sebuah kota impian di mana kedamaian antar mamalia tercipta di sana. 
Karakter utama kita di sini adalah si kelinci Judy Hopps (Ginnifer Goodwin), yang sejak kecil selalu diremehkan karena impian besarnya. Ia bercita-cita menjadi polisi dan membela yang lemah. Syukurlah, cita-citanya menjadi kenyataan. Sejak kecil, Judy dididik oleh orang tua yang suka mendikte. Bahwasanya tak perlu bermimpi besar asal bisa bermain ‘aman.’

Kesalahan lain yang orang tuanya tanamkan kepadanya adalah prasangka buruk pada mamalia pemangsa. Seperti contoh, rubah yang selalu diidentikkan dengan kelicikan. Bukan tanpa sebab pula jika sejak kecil Judy sering di-bully oleh teman rubahnya. Hal itu berdampak besar pula saat ia terpilih menjadi polisi dan bertugas di Zootopia.
Prasangka buruk dari kecil itu menuntunnya pada seekor rubah bernama Nick Wilde (Jason Bateman). Hubungan keduanya bisa dikatakan suka dan benci. Ada satu titik di mana Judy begitu membutuhkan bantuan Nick. Sebab, Nick menjadi kunci dari hilangnya 14 warga Zootopia secara misterius. 
Pada awalnya, “Zootopia” terasa seperti drama dengan konflik internal keluarga. Di mana si karakter utama memiliki keinginan besar, tapi sayangnya terhalang oleh keluarga yang over-bearing. Di bagian setup memang “Zootopia” seperti “The Little Prince” (2015), berikut permasalahan yang dihadapinya. Kemudian beralih pada confrontation, “Zootopia” secara drastis menjelma menjadi petualangan misteri.
Naskah dari Jared Bush dan Phil Johnston memang menawarkan perubahan mencolok dari act pertama ke act kedua. Tapi itu tidak lantas membuat plot menanjak secara kasar. Sebab antar act itu masih tercipta koherensi. Pun di dalamnya akan ada turning point antara si protagonis (Judy) dengan antagonis (Nick). Dari yang sebelumnya saling membenci, berubah saling membutuhkan.

Pada petualangan antara Judy dan Nick dalam menguak kasus misteri itu, menjadikan pemecahan jawaban atas konflik dari film ini. Semua diawali dengan prasangka buruk antara mamalia yang menjadi mangsa (herbivora), dengan si pemangsa (karnivora). Maka petualangan itu pun menjadi kontemplasi bagi Judy dan Nick atas pandangan mereka terhadap satu sama lain. Lebih luas lagi, antara sesama mamalia.
Jika menilik dari kontennya, Disney memang begitu berani untuk mengangkat soal stereotype ke dalam film animasinya ini. Memang cukup berat untuk disasarkan pada penonton anak. Tapi bila melihatnya sebagai wadah untuk membuka wawasan dalam menjauhi prasangka buruk, pesannya sangat mengena. 
Mengapa “Zootopia” begitu menarik bila dilihat dari permasalahannya adalah karena relevannya dengan keadaan sekarang. Terutama untuk masyarakat Amerika Serikat yang majemuk. Di sana terdapat berbagai ras manusia. Mau tidak mau, gesekan antar satu sama lain begitu terasa. Tidak mengherankan jika stereotype pada ras tertentu di sana begitu kuat. 
Saya paling mengapresiasi tinggi “Zootopia” pada pemilihan topiknya yang masih segar. Ada dua hal yang dibicarakan di sini : pendiktean dari orang tua serta prasangka yang menimbulkan stereotype. Bila kita mencoba gali lebih mendalam, “Zootopia” tentunya adalah teguran untuk para orang tua itu sendiri. Bilamana seseorang bertindak rasis, bukan tidak mungkin lingkungan terdekatlah yang menciptakannya. Dilihat dari kedekatannya, orang tua adalah pemilik tanggung jawab terbesar itu.    

No comments:

Post a Comment