ZOOTOPIA [2016]
Lewat “Zootopia,” Disney telah
mengobati kekecewaan saya pada Pixar karena “The Good Dinosaur” (2015). “Zootopia”
membuktikan tidak hanya semakin bagus dari kualitas animasinya, tapi juga dari
segi cerita. Dibanding animasi Disney pendahulunya, saya rasa “Zootopia”
sedikit lebih berat untuk konsumsi anak-anak. Khususnya pada beberapa adegan
dan istilah, serta topik stereotype
yang diangkatnya.
Walau begitu, “Zootopia” masih terkandung
banyak pesan moral di dalamnya. Film animasi semacam inilah yang menjadi banyak
disukai oleh semua kalangan. Untuk gaya penceritaannya sendiri, sutradara Byron
Howard dan Rich Moore menggunakan personifikasi dari hewan mamalia. Bukan hal
baru memang, tapi “Zootopia” menawarkan konflik yang jauh lebih padat berisi.
Tersebutlah sebuah kota bernama
Zootopia, banyak dihuni oleh hewan-hewan mamalia baik pemangsa dan mangsa,
namun hidup secara damai. Dari namanya sendiri adalah gabungan “zoo” dan
“utopia,” sebuah kota impian di mana kedamaian antar mamalia tercipta di sana.
Karakter utama kita di sini adalah si
kelinci Judy Hopps (Ginnifer Goodwin), yang sejak kecil selalu diremehkan
karena impian besarnya. Ia bercita-cita menjadi polisi dan membela yang lemah.
Syukurlah, cita-citanya menjadi kenyataan. Sejak kecil, Judy dididik oleh orang
tua yang suka mendikte. Bahwasanya tak perlu bermimpi besar asal bisa bermain
‘aman.’
Kesalahan lain yang orang tuanya
tanamkan kepadanya adalah prasangka buruk pada mamalia pemangsa. Seperti
contoh, rubah yang selalu diidentikkan dengan kelicikan. Bukan tanpa sebab pula
jika sejak kecil Judy sering di-bully
oleh teman rubahnya. Hal itu berdampak besar pula saat ia terpilih menjadi
polisi dan bertugas di Zootopia.
Prasangka buruk dari kecil itu
menuntunnya pada seekor rubah bernama Nick Wilde (Jason Bateman). Hubungan
keduanya bisa dikatakan suka dan benci. Ada satu titik di mana Judy begitu
membutuhkan bantuan Nick. Sebab, Nick menjadi kunci dari hilangnya 14 warga
Zootopia secara misterius.
Pada awalnya, “Zootopia” terasa
seperti drama dengan konflik internal keluarga. Di mana si karakter utama
memiliki keinginan besar, tapi sayangnya terhalang oleh keluarga yang over-bearing. Di bagian setup memang “Zootopia” seperti “The
Little Prince” (2015), berikut permasalahan yang dihadapinya. Kemudian beralih
pada confrontation, “Zootopia” secara
drastis menjelma menjadi petualangan misteri.
Naskah dari Jared Bush dan Phil Johnston
memang menawarkan perubahan mencolok dari act
pertama ke act kedua. Tapi itu
tidak lantas membuat plot menanjak secara kasar. Sebab antar act itu masih tercipta koherensi. Pun di
dalamnya akan ada turning point
antara si protagonis (Judy) dengan antagonis (Nick). Dari yang sebelumnya
saling membenci, berubah saling membutuhkan.
Pada petualangan antara Judy dan Nick
dalam menguak kasus misteri itu, menjadikan pemecahan jawaban atas konflik dari
film ini. Semua diawali dengan prasangka buruk antara mamalia yang menjadi
mangsa (herbivora), dengan si pemangsa (karnivora). Maka petualangan itu pun
menjadi kontemplasi bagi Judy dan Nick atas pandangan mereka terhadap satu sama
lain. Lebih luas lagi, antara sesama mamalia.
Jika menilik dari kontennya, Disney
memang begitu berani untuk mengangkat soal stereotype
ke dalam film animasinya ini. Memang cukup berat untuk disasarkan pada
penonton anak. Tapi bila melihatnya sebagai wadah untuk membuka wawasan dalam
menjauhi prasangka buruk, pesannya sangat mengena.
Mengapa “Zootopia” begitu menarik bila
dilihat dari permasalahannya adalah karena relevannya dengan keadaan sekarang.
Terutama untuk masyarakat Amerika Serikat yang majemuk. Di sana terdapat
berbagai ras manusia. Mau tidak mau, gesekan antar satu sama lain begitu
terasa. Tidak mengherankan jika stereotype
pada ras tertentu di sana begitu kuat.
Saya paling mengapresiasi tinggi
“Zootopia” pada pemilihan topiknya yang masih segar. Ada dua hal yang
dibicarakan di sini : pendiktean dari orang tua serta prasangka yang
menimbulkan stereotype. Bila kita
mencoba gali lebih mendalam, “Zootopia” tentunya adalah teguran untuk para
orang tua itu sendiri. Bilamana seseorang bertindak rasis, bukan tidak mungkin lingkungan
terdekatlah yang menciptakannya. Dilihat dari kedekatannya, orang tua adalah
pemilik tanggung jawab terbesar itu.
No comments:
Post a Comment